m. arif am
Drs. M. ARIF AM, M.A.
STAI Miftahul 'Ula Nglawak Kertosono
       Proses belangsungnya pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan keadaan yang terjadi dimasa pendidikan itu berjalan. Baik metode, sistem, dan prinsip yang digunakan juga harus sesuai dengan waktu, keadaan, dan kebutuhan masyarakat. Sehingga teknologi yang digunakan harus tepat agar dapat memperoleh hasil pendidikan yang diharapkan.
     Teknologi pendidikan adalah salah satu faktor yang dominan dalam proses belajar. Penggunaan teknologi yang sesuai dapat menunjang  keberhasilan pengajaran yang disampaikan pendidik kepada peserta didik. Dan diperlukan kerjasama yang baik dari seluruh komponen pendidikan yang ada.
Konsep teknologi pendidikan akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Tumbuh dan berkembangnya suatu konsep tidak akan terlepas dari konteks dimana konsep itu dapat tumbuh, serta apa dan bagaimana awal perkembangan konsep itu sendiri. Konsep teknologi pendidikan tidak akan pernah terlepas dari pendidikan dan peserta didik, prosedur ide dan peralatan yang menyangkut semua aspek belajar manusia
     Dalam bab ini akan membahas tentang konteks tumbuhnya teknologi pendidikan dengan membahas perkembangan pendidikan dan teknologi, dilanjutkan dengan pembahasan perkembangan konsep teknologi pendidikan itu sendiri di Indonesia.

Perkembangan Pendidikan
     Pendidikan telah berlangsung sejak awal peradaban dan budaya manusia. Bentuk dan cara pendidikan itu telah mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Pada awal peradaban, para orang tua bersama kelompoknya bertanggungjawab dalam mendidik anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan. Dokumen tertulis mengenai perkembangan pendidikan sejak awal peradaban lebih banyak berdasarkan pendapat para sejarawan yang  mengkaji perkembangan kebudayaan barat.
Socrates (469 – 399 SM), Plato (439 – 347 SM), dan Aristoteles (384 – 322 SM), mereka adalah para pendahulu pendidikan. Perkembangan budaya selanjutnya telah melahirkan pendidikan yang lebih terstruktur dalam bentuk sekolah dan kurikulum tertentu. Berikut beberapa tokoh pendidikan dengan berbagai gagasan dan konsep yang dikemukakan.
John Dewey (1859 - 1952)
      J. Dewey adalah bapak pendidikan Amerika Serikat. Salah satu pendapatnya adalah pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut partisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang, melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Metode reflektif (reflektive method) adalah metode ilmiah yang berlangsung menggunakan langkah-langkah :
•    Pelajar (leaner) mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya dalam suatu kegiatan yang diminati.
•    Berdasarkan pengalaman tersebut pelajar mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya.
•    Pelajar mempunyai atau mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
•    Pelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi untuk memcahkan  masalah.
•    Pelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecahkan masalah (Miarso : 2007).
Ivan Illich (1926 - 1990)
     Berpendapat bahwa, belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu pernyataan bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru (Miarso : 2007).
    Teori, konsep dan prinsip pendidikan yang diungkapkan dalam beberapa pendapat di atas menunjukkan adanya perkembangan pendidikan dari tahun ke tahun. Sehingga pendidikan yang ada semakin maju dengan menggunakan metode atau prinsip yang selalu mengikuti perkembangan zaman seperti masa sekarang  ini.
Teknologi pendidikan telah berlangsung sejak awal peradaban dan budaya manusia. Bentuk dan cara pendidikan itu telah mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Pada awal peradaban, para orang tua bersama kelompoknya bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan. Bila orang tua atau keluarganya hidup dengan bertani, maka anak-anaknya juga diajar bertani melalui pengalaman langsung. Demikian juga kelau orang tuanya berdagang, maka anak-anaknya juga diajar berdagang. Pada masa itu belum ada program pendidikan yang dilaksanakan diluar lingkungan keluarga atau kelompok orang-orang diluar keluarga atau kelompok, atau pendidikan yang terstruktur.
      Kapan pendidikan yang terstruktur mulai dilaksanakan dan apa tujuan dan caranya? Tidak ada yang dapat memastikan kapan pendidikan terstruktur dimulai. Dokumen tertulis mengenai perkembangan pendidikan sejak awal peradaban lebih banyak berdasarkan pendapat para sejarawan yang mengkaji perkembangan kebudayaan barat. Dalam kurun waktu yang berbeda beberapa penulis seperti Thomson (1951), Saeetler (1968), Ashby (1972), serta Ornstein dan Levine (1981) berpendapat tentang awal pendidikan terstruktur dimulai pada sekitar tahun 500 SM oleh kaum Sufi (sophist). Mereka ini disebut sebagai “Penjaja Pengetahuan”(Knowledge peddlers-saeetler), atau “Guru pengelana” (wandering teachers -Ornstein & Levine); karena mereka menawarkan pendidikan secara berkeliling, dan tidak menetap di suatu tempat. Oleh Ashby, berlangsungnya pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum Sufi itu dinyatakan sebagai terjadinya revolusi pertama dalam bidang pendidikan. Revolusi ini terjadi dengan diserahkan¬nya pendidikan anak dari orang tua kepada orang lain yang berprofesi sebagai "guru".
Beberapa tokoh "guru pengelana" tersebut adalah Socrates (469-¬399 SM), Plato (439-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates diketahui sebagai seorang filsuf yang mengajarkan bagaimana cara mem¬peroleh kebenaran, keindahan, dan kebajikan. Cara mengajar terutama dilakukan dengan dialog lisan berdasarkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan keseharian. Dengan dialog tersebut pada akhirnya akan dapat diperoleh hakikat tentang kebenaran, keindahan, dan kebajikan. Cara dialog sampai sekarang masih banyak digunakan, dan bahkan sering kali disebut sebagai metode Socratic.
Salah seorang murid Socrates yang terkenal adalah Plato. Kalau Socrates mengajar secara lisan dengan dialog, Plato menulis buku Protagoras, Republic, dan Laws. Plato berpendapat bahwa kebenaran, kebajikan, keindahan, dan keadilan adalah bersifat universal. Karena kebenaran itu bersifat universal, maka pendidikan pun harus bersifat universal. Kenyataan hanya dapat dipahami melalui intelektualitas, karena itu pendidikan harus me¬nekankan pada pengembangan intelektualitas. Kesempatan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh Plato terbatas pada mereka yang memiliki intelektualitas terpilih. Menurut pendapat Plato manusia akan dianggap baik dan terhormat apabila perilakunya sesuai dengan konsep ideal tentang kebajikan dan keadilan.
     Salah seorang murid Plato yang terkenal adalah Aristoteles. Aristoteles ini juga dikenal sebagai tutor Raja Iskandar Agung (Alexander the great). Dia mendirikan lembaga pendidikan yang disebut lyceum. Kecuali itu, ia banyak menulis buku dalam berbagai subyek seperti fisika, astronomi, zoologi, botani, logika, etika, dan metafisika. Manusia dianggap sebagai makhluk yang rasional, karena itu memiliki kemampuan untuk mengamati dan memahami hukum alam yang mengatur kehidupan. Manusia yang terdidik mampu menerapkan pikirannya dalam perilaku etik dan politik. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, dan karena itu kehidupan yang baik adalah keselarasan. Aristoteles menekankan perlunya pendidikan sebagai landasan perkembangan kebudayaan. Kalau pendidikan diabaikan, maka masyarakat akan terpuruk. Ketiga tokoh yang disebut di muka, dapat dikatakan para pendahulu (nenek moyang) pendidikan. Perkembangan budaya selanjutnya telah melahirkan pendidikan yang lebih terstruktur dalam bentuk sekolah dengan kurikulum tertentu. Berikut ini ditampilkan beberapa tokoh pendidikan dengan berbagai gagasan dan konsep yang mereka kemukakan. Tokoh-tokoh ini sengaja dipilih karena dalam pembahasan kemudian dapat dianggap bahwa gagasan dan konsepnya bisa dianggap sebagai lahan persemaian pembaruan pendidikan, atau tumbuhnya bidang-bidang spesialisasi baru dalam pendidikan termasuk teknologi pendidikan. Pembahasan tentang tokoh-tokoh ini lebih banyak didasarkan pada buku Ornstein dan Levine.
       Jan Komensky Comenius (1592-1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Lomensky berpendapat bahwa: 1) lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, dengan memperboleh¬kan berbagai kegiatan yang sesuai; 2) pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan objek yang dikenal pula. Pendapatnya ini antara lain diwujudkan dengan ditulisnya buku Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar (misalnya, gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas masing-masing objek dalam gambar tersebut dengan istilah Latin dan bahasa keseharian. Perlu diperhatikan bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan indra untuk belajar.
     Jean Jacques Rousseau (1712-1773) adalah seorang ilmuwan dan politisi Perancis kelahiran Swiss, yang banyak menaruh perhatian pada filsafat sosial dan pendidikan. Rousseau dikenal dengan suatu buku novel yang ditulisnya dengan judul Emi1e. Dalam buku itu dituliskan gagasan dan pendapatnya. Dia berpendapat antara lain bahwa masyarakat telah memenjarakan anggotanya melalui serangkaian lembaga. Anak-anak harus dibebaskan dari penjara yang paling menekan, yaitu sekolah yang mengharuskan anak untuk menerima gagasan, kebiasaan, dan perilaku yang telah ditentukan sebelumnya. Lingkungan alam merupakan guru paling baik. Pengetahuan berkembang melalui pengindraan dan perasaan. Oleh karena itu, Rousseau menganjurkan adanya kebebasan dan kemajuan, semua aturan yang membatasinya harus di¬tiadakan di sekolah telah membelenggu perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar. Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Objek untuk pendidikan atau sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, work¬shop, galeri seni, dan lain-lain di mana ada tempat dan sarana yang me¬mungkinkan untuk belajar.
Paulo Freire adalah seorang ahli pendidikan Brasil, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep pendidikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif. Menurut Freire, pendidikan adalah usaha me¬manusiakan manusia, tujuan pendidikan adalah pembebasan yang permanen. Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap kesadaran akan penindasan; dan kedua, membangun kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu, semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas nyata dengan praksis baru.
Ki Hajar Dewantara (1889-1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya "tut wuri handayani, hing madya mangun karsa, hing ngarsa sung tulada". Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah "tri-nga" (tiga "nga"- "nga" adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). "Nga" pertama adalah "ngerti" (memahami atau aspek intelektual), “nga" kedua "ngrasa" (merasakan atau aspek afeksi), dan "nga" ketiga adalah "nglakoni" (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan ini telah dilakukan sekitar 20 tahun sebelum Bloom dan kawan-¬kawannya merumuskan taksonomi tujuan pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Menurut Dewantara, adalah hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran, dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
        Mohammad Syafei (1896-1969) seorang tokoh pendidikan yang mendirikan Sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah berpikir secara. logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul  isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan berarti ber¬tanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan "ijazah" atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan pemerintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan.
Teori, konsep, dan prinsip pendidikan yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang telah ada sejak ratusan tahun sebelum Masehi, yang sampai sekarang belum ter¬pecahkan. Hal inilah yang merupakan lahan untuk tumbuhnya pemikiran dan gerakan baru.

Perkembangan Teknologi
        Istilah teknologi berasal dari "techne" atau cara dan "logos" atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah teknologi dapat diartikan dengan pengetahuan tentang cara. Sehingga pengertian teknologi adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat, metode atau dengan sistem tertentu. Sedangkan Finn menyatakan bahwa teknologi mencakup proses, sistem, pengelolaan, dan mekanisme kontrol, baik yang menyangkut manusia maupun bukan manusia, dan lebih dari itu adalah merupakan suatu cara memandang  permasalahan ditinjau dari sudut kepentingan, kesulitan, kelayakan teknis dan pemecahannya, dan nilai ekonomi.
Teknologi merupakan sistem yang diciptakan manusi untuk suatu tujuan tertentu. Teknologi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
•    Teknologi fisik atau mekanik yang ditandai oleh mesin, alat, dan perangkatnya.
•    Teknologi sosial yang merupakan tatanan atau acuan yang ditetapkan oleh orang lain dalam mengorganisasikan manusia dan lingkungannya, serta hal-hal yang mengatur tugas, fungsi, wewenang, dan kekuasaan.
Teknologi tidak mengandung nilai dalam dirinya sendiri, semuanya tergantung bagaimana manusia merancangnya, memanfaatkannya, dan menerimanya. Akan tetapi karena teknologi bersifat mencampuri (mengintervensi) urusan manusia dengan lingkungannya, serta secara konseptual mencampuri peranan orang dalam dunianya. Keberhasilan atau kegagalan orang dalam dunia yang digelutinya dapat disebabkan oleh teknologi dengan dipakai atau dihadapinya. Jadi, nilai segala bentuk teknologi tergantung pada kegunaannya bagi umat manusia serta akibatnya bagi diri dan lingkungannya.

Tumbuh Dan Berkembangnya Konsep Teknologi Pendidikan
      Teknologi pendidikan sebagai suatu disiplin keilmuan, pada awalnya berkembang sebagai bidang kajian di Amerika Serikat. Meskipun demikian menurut beberapa penulis Amerika Serikat diakui bahwa para pendahulu atau nenek moyang (forefathers) teknolooi pendidikan kebanyakan berasal dari luar Amerika Serikat.
     Kalau kita berpegangan kepada konsep teknologi sebagai cara, maka awal perkembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban, dimana orang tua mendidik anaknya dengan cara mem¬berikan pengalaman langsung serta dengan memanfaatkan lingkungan. Saettler berpendapat bahwa sumber tumbuhnya teknologi pendidikan dapat ditelusuri sampai kaum Sufi, denan cara mereka "menjajakan pengetahuannya." Bahkan menurutnya cara dialog seperti  dilakukan oleh Socrates sampai sekarang masih digunakan sebabai metode pemecahan masalah (problem-soiving method).
Secara eksplisit Saettler menganggap bahwa Komensky merupakan pionir teknologi pendidikan dengan pendapat perlunya visualisasi dalam pengajaran, yang tertuang dalam bukunya, Orbis Sensalium Pictia. Demikian juga dengan Rousseau, Pestalozi, Froebel yang menekankan perlunya rangsangan indra untuk meningkatkan efektivitas belajar. Prosedur, peng¬ajaran yang dinyatakan oleh Herbart, juga dapat dikatakan sebagai awal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai desain pembelajaran.
       Pemuka pendidikan lain juga dapat dianggap memberikan kontribusi tumbuhnya teknologi pendidikan, seperti misalnya heterogenitas pemelajar yang perlu dilayani dengan program pendidikan yang sesuai (sekarang berkembang menjadi belajar individual dan bebas), cara belajar aktif, belajar dari lingkungan (sekarang dikembangkan menjadi belajar berbasis aneka sumber), kebebasan dalam belajar (sekarang menjadi belajar terbuka), belajar memecahkan masalah (sekarang berkembang menjadi belajar berbasis masalah), serta adanya partisipasi dari warga masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Finn, tahun 1920-an adalah awal perkembangan teknologi  pendidikan. Istilah dan definisi formal pertama yang berhubungan dengan teknologi pendidikan pada saat itu adalah "pengajaran visual". Yang dimaksud dengan pengajaran visual adalah kegiatan mengajar dengan meng¬gunakan alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek, atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi kepada siswa. Tujuan penggunaan alat bantu visual adalah untuk: 1) memperkenalkan, menyusun, memperkaya, atau memperjelas konsep¬-konsep yang abstrak; 2) mengembangkan sikap yang diinginkan; dan 3) mendorong timbulnya kegiatan siswa lebih lanjut. Alat bantu visual umumnya diklasifikasikan mulai dari tingkat kekonkretannya sampai dengan tingkat yang makin abstrak.
Aliran pengajaran visual, di samping berusaha membuat konkret konsep yang abstrak, juga menambahkan dua gagasan tambahan yang masih bermanfaat hingga sekarang. Yang pertama adalah gagasan untuk meng¬klasifikasikan jenis alat-alat bantu visual, dan yang kedua menekankan pentingnya pengintegrasian bahan visual ke dalam kurikulum, dan bukannya dipakai secara terpisah-pisah.
      Kelemahan aliran tersebut adalah karena hanya mengutamakan bahan itu sendiri, dan kurang memerhatikan desain, pengembangan, produksi, evaluasi, dan pengelolaan bahan itu. Kegiatan-kegiatan tersebut bukannya tidak dipertimbangkan, melainkan dianggap kurang penting, karena per¬hatian dipusatkan kepada bahan itu sendiri. Kelemahan lain adalah adanya anggapan bahwa bahan visual merupakan "alat bantu" dan bukan merupa¬kan suatu yang mampu membawakan unit ajaran itu sendiri.
Dengan timbulnya rekaman suara dan film bersuara, aliran pengajaran visual diperluas dengan menambahkan suara, sehingga berkembang menjadi pengajaran audiovisual yang merujuk pada beberapa macam perangkat keras yang dipakai guru untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman melalui mata dan telinga. Sekalipun pembelajaran audiovisual menambah¬kan komponen audio ke dalam aliran pengajaran visual, namun penambahan konseptual hanya sedikit. Aliran ini tetap mempertahankan rentangan (continuum) abstrak-konkret (dengan bahan audiovisual pada ujung yang lebih konkret) serta mengklasifikasikan jenis pengalaman. Penuangan konsep yang paling nyata terdapat dalam Cone of Experience (Kerucut Pengalaman) oleh Edgar Dale pada tahun 1954. Aliran ini juga masih menekankan bahwa bahan audiovisual perlu diintegrasikan ke dalam kuri¬kulum.
      Aliran pengajaran audiovisual juga masih mengandung dua kelemahan yang terdapat pada aliran yang mendasarinya, yaitu lebih menaruh per¬hatian kepada bahan daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap memandang bahan audiovisual sebagai alat bantu guru dalam pengajaran. Meskipun demikian, penelitian tentang efektivitas bahan audiovisual serta jenis bahan mana yang paling efektif untuk keperluan pengajaran mulai banyak dilakukan.
Pada akhir Perang Dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dalam bidang audiovisual ke arah dua kerangka konseptual baru yang paralel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem awal. Orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi, mengubah kerangka teori bidang itu. Per¬hatian tidak lagi dipusatkan kepada "benda-benda", melainkan kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber (Baik itu guru maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (si-belajar).
Sementara transisi dari pengajaran audiovisual ke komunikasi berlangsung, secara paralel berlangsung pula transisi lain yang terpisah namun ada kaitannya, yaitu perkembangan ke konsep sistem awal. Suatu sistem dapat didefinisikan sebagai rangkaian komponen-komponen yang mem¬punyai tujuan tertentu. Arti penting dari sistem adalah pengertian adanya: a) komponen-komponen dalam sistem; b) integrasi kompornen-komponen itu; dan c) peningkatan efisiensi sistem. Konsep sistem dalam teknologi pendidikan menganggap sistem sebagai produk yang lengkap, tersusun, dan terintegrasi sedemikian rupa hingga memungkinkan terjadinya pem¬belajaran.
        Usaha untuk merumuskan definisi teknologi pendidikan secara terorganisasikan dimulai pada tahun 1960. Hingga sekarang definisi teknologi pendidikan telah berkembang lima kali. Pengembangan definisi pertama dilakukan oleh The Technological Development Project dari The National Education Association dengan ketua tim Prof. Dr. Donald P Ely. Pada tahun 1963 disahkan definisi yang pertama sebagai berikut:
Komunikasi audiovisual ialah cabang teori dan praktik pendidikan, khususnya yang berkepentingan dengan rancangan dan pemanfaatan pesan yang mengendalikan proses belajar. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, seleksi, pengelolaan dan pemanfaatan komponen-komponen sistem dan seluruh sistem instruksional. Tujuan praktisnya, yaitu efisiensi pemanfaatan setiap metode dan media komunikasi yang dapat menyumbang pengem¬bangan potensi si-belajar secara penuh.
        Definisi ini merupakan suatu perubahan penting dalam paradigma atau pola berpikir dalam teknologi pendidikan, yaitu dari penekanan pada bahan audiovisual sebagai alat bantu yang memberikan pengalaman konkret, ke arah penekanan pada proses komunikasi untuk keperluan belajar, dan pemanfaatan sistem instruksional yang lengkap, dan pengembangan potensi pemelajar secara optimal. Definisi ini juga memicu perubahan nama dari Department of Audio Visual Instruction (DAVI) menjadi the Association for Educational Communication and Technology (AECT).
AECT membentuk suatu Komisi Definisi dan Terminologi pada tahun 1990 yang dipimpin oleh Barbara B. Seels, dengan 21 orang anggota. Setelah bekerja selama tiga tahun, komisi ini merumuskan definisi dan terminologi baru yang merupakan definisi keempat. Laporan komisi diterbitkan dalam buku Instrucksional Technology: The Definition and Domains of the Field (1994), dengan penulis akhir Barbara B. Seels dan Rita C. Richey. Terjemahan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) sebagai Seri Pustaka Teknologi Pendidikan 12 pada tahun 2000. Definisi kelima tahun 1994 adalah sebagai berikut:
     Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian proses dan sumber untuk belajar.
Komponen dalam definisi adalah:
Teori dan praktik;
    Kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pe¬nilaian;
    Proses dan sumber;
    Untuk keperluan belajar.
Setiap kawasan memberikan kontribusi kepada pengembangan teori dan praktik yang menjadi landasan keilmuan, dan sebaliknya teori dan praktik juga dijadikan pegangan dalam pengembangan kawasan. Tiap kawasan tersebut berdiri sendiri, meskipun saling berkaitan sebagai sesuatu kegiatan yang sistematik.
Untuk sementara ini pengembangan definisi dan terminologi sudah dianggap cukup karena telah menunjukkan adanya teori yang digunakan dan dikembangkan, sebagai prasyarat untuk setiap disiplin keilmuan, dan perlunya profesi dalam mempraktikkan proses pada setiap kawasan dan fokus kepada kepentingan setiap orang untuk belajar.
      Arah pertumbuhan teknologi instruksional menurut Finn sesuai dengan teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan dari masyarakat tradisional ke kebudayaan teknologi tinggi, yaitu:
•    Masyarakat tradisional - ilmu dan teknologi tidak tersedia, atau tidak secara teratur dan sistematik diterapkan;
•    Prakondisi untuk tinggal landas - ada perubahan psikologis dan politis di masyarakat, yang menyebabkan orang dan lembaga bersedia menerima teknologi, dan pada saat mana telah terbentuk modal dasar masyarakat yang diperlukan;
•    Tinggal landas - masa kritis prakondisi tercapai, dan beberapa inovasi teknologi yang berlangsung bertindak sebagai stimulus untuk berpikir teknologis;
•    Beranjak dewasa - dipergunakannya proses teknologi yang lebih canggih dan rumit, sementara itu investasi masyarakat dalam peranti (tools) sebanyak 10-20% ; dan
•    Konsumsi massa yang tinggi - masyarakat menerapkan proses dan sumber teknologi di mana saja untuk setiap kesempatan.
Kembali pada Segitiga Acuan dari Ogden dan Ricard yang telah ditampilkan di muka, dapatlah disimpulkan bahwa:
•    Istilah yang digunakan Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pem¬belajaran.
•    Gagasannya adalah agar setiap orang mampu mengembangkan diri secara optimal dengan memperoleh kesempatan belajar melalui berbagai proses dan sumber.
•    Dengan rujukan:
    Proses yang sistemik dan sistematik;
    Aneka sumber yang dikembangkan dan/atau digunakan untuk belajar;
    Bertolak dari bebagai teori yang relevan dan kenyataan empiris;
    Adanya nilai tambah dalam mencapai tujuan kegiatan;
    Bersifat inovatif karena harus menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan.
        Tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi oleh tiga faktor, antara lain :
Engineering
Adalah kegiatan profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan sumber alam secara efisien dalam menghasilkan kesejahteraan. Menurut  Ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Science
       Science dalam pendidikan menjadi laboratorium dan percobaan untuk memilih dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, dan menialai hasil belajar peserta didik. Tujuan science dalam pendidikan adalah memberikan jaminan bahwa peristiwa belajar yang diharapkan memilki dampak efisiensi dan efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan hasil belajar dapat diprediksi dan dikontrol.
Audiovisual
      Adalah alat yang digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Teknologi pendidikan merupakan  hasil evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan.
Pada fase permulaan perkembangan teknologi pendidikan secara sisetmatis berlangsung pada tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual  ke arah teknologi pendidikan. Hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran.  Sehingga beberapa teori belajar dijadikan sumber inspirasi di dalam pengambangan model pembelajaran, terutama dalam penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta didik, kondisi-kondisi pembelajaran yang harus dirancang, beserta berbagai fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.
      Teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh National Education Association (NEA)  bahwa komunikasi audiovisual adalah  cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara khusus berkaitan dengan desain dan pemanfaatan pesan untuk mengendalikan proses belajar. Kegiatannya meliputi :
•    Mempelajari kelebihan dan kekurangan yang unik maupun yang relatif dari pesan baik yang diungkapkan dalam bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan untuk tujuan apapun dalam proses belajar.
•    Penyusunan dan penataan pesan oleh manusia dan alat dalam suatu lingkungan pendidikan
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan yaitu :
•    dimungkinkan untuk menggunakan kembali label audiovisual
•    merubah nama audiovisual menjadi educational communication
•    merubah nama audiovisual menjadi learning resources
•    merubah nama audiovisual menjadi instrucsional technology or educational technology
Setiap konsep tentu memerlukan “Istilah” atau “Nama” yang diciptakan sebagai lambang untuk mengidentifikasi konsep yang dimaksud (misalnya istilah “sekolah”), dan untuk mengomunikasikan gagasan yang ada di dalamnya. Istilah itu harus menunjukkan “gagasan”, yaitu gambaran mental mengenai gajala sesuatu gejala, dan harus pula mewakili adanya sejumlah “rujukan”, yaitu gejala kongkret yang dapat dikenal dengan pengindraan. Sedangkan, gagasan mengarahkan (memberikan batasan) pada sejumlah kenyataan yang terdapat dalam rujukan.
Oleh Ogden dan Richart seperti dikutip Mayer dan Greenwood (1984) konsep itu dijelaskan dengan segitiga acuan yang diilustrasikan pada gambar berikut :
                              

     Istilah “Sekolah” menunjukkan gagasan adanya kegiatan pendidikan yang terstruktur dan diselenggarakan secara profesional. Istilah itu mewakili sejumlah rujukan yang terdiri atas gedung dengan segala fasilitasnya (kursi, meja, papan tulis, dan sebagainya), siswa, guru, pengelola (kepala sekolah), tenaga tata usaha, kurikulum, proses belajar pembelajaran, dana operasional, dan lain-lain. Gagasan itu sendiri mengacu pada sejumlah rujukan yang telah diidentifikasi mewakili istilah,

      Perkembangan Teknologi Pendidikan di Indonesia
Perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia boleh dikatakan mengikuti perkembangan yang ada di Amerika Serikat. Perkembangan tersebut dimulai dengan digunakannya media media atau alat peraga untuk menunjang kegiatan pengajaran.
Pada tahun 1951 diselenggarakan "school broadcasting" sebagai suatu usaha perintisan meliputi daerah Jakarta, Bandung, Bogor dan Cirebon. Pada saat itu dibentuk panitia penyelenggara school broadcasting yang diketuai oleh Sadarjoen Siswomartojo (Kepala Djawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK), sekertaris sari RRI dan anggota yang mewakili AD,AURI, ALRI.
      Pada tahun 1955 didirikan BKTPG (Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru) di Bandung, suatu lembaga yang bertugas menyelenggarakan kursus tertulis bagi calon guru SD guna menyongsong program perluasan kesempatan belajar yang lebih berkualitas. Lembaga ini telah berkembang fungsinya dan setelah mengalami pasang surut, sekarang menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis.
Pada tahun 1972, menteri pendidikan dan kebudayaan menetapkan kebijakan untuk mengembangkan siaran pendidikan secara bertahap melalui perintisan. Perintisan kemudian dilaksanakan di tiga daerah, dan kemudian setelah di nilai berhasil, dikembangkan di 11 provinsi.
Pengembangan media massa untuk pendidikan selanjutnya, ternyata kurang mendapat perhatian kebijakan dalam pembangunan pendidikan lebih lanjut. Pada tahun 1974, Presiden Soeharto sebenarnya telah mencanagkan penggunaan satelit komunikasi domestik untuk penyebaran pendidikan. tetapi pernyataan kebijakan Presiden tidak mendapat tanggapan konkret.
Rapat koordinasi teras Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggariskan kebijakan pengembangan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1975. Pendidikan keahlian teknologi pendidikan dimulai pada tahun 1976 pada jenjang S1 dan tahun 1978 pada jenjang S2 dan S3. Mayoritas dosen yang mengajar didatangkan dari AS melalui bantuan teknis dari USAID.
     Perkembangan terminologi dalam bidang teknologi pendidikan bahkan telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan. Istilah "pembelajaran" yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pemelajar (leaner centered) untuk menggantikan istilah "pengajaran" yang teacher centered, mulai diperkenalkan sejak tahun 1973 telah dipakai secara meluas bahkan telah diakomodasikan dan bhakan dikuatkan dalam perundangan (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003). Demikian pula istilah sumber belajar dan berbagai macam strategi pembelajaran.  
Bentuk dan cara pendidikan itu telah mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Dokumen tertulis mengenai perkembangan pendidikan sejak awal peradaban lebih banyak berdasarkan pendapat para sejarawan yang  mengkaji perkembangan kebudayaan barat. Perkembangan pendidikan yang ada adalah berpikir secara logis dan rasional, isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat.
      Pengertian teknologi adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat, metode atau dengan sistem tertentu. Dan teknologi dari masa ke masa mengalami perkembangan terutama dalam masalah pendidikan. Pengantar kearah pengembangan konsp dan istilah teknologi pendidikan dilandasi oleh tiga faktor, antara lain engineering, science, dan audiovisual.
Pada fase permulaan perkembangan teknologi pendidikan secara sistmatis berlangsung pada tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual  ke arah teknologi pendidikan. Perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia yang mengikuti perkembangan yang ada di Amerika Serikat juga terus berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Akan tetapi perkembangan tersebut tetap mengacu pada UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003.
      Alasan bahwa istilah educational engineering diperlukan dalam mengkaji tata usaha yang besa Didasarkan atas pendekatan historik Januszewski (2001: 2-15) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor berikut : pertama. Engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); kedua science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; saettler, 1990; Shorck, 1990), dan ketiga the development of the audio visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990). Dari hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engeneering science, dan audio visual education).
    Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan w.w. charters menjadi perintis penggunaan istilah “Educational engineering” pada tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini digunakan pula oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu menejemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Muroe berr untuk mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya. Mana yang lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang menyatakan T.J. Hoveer dan T.J. L. Fish mengungkapkan bahwa enginerring adalah kegiatan profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan sumber alam secara efisien dalam menghasilkan kesejahteran. Selanjutnya dari hasil diskusi antara konsep engineering yang diungkapkan Charters dan konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan empat kesamaan, yaitu : 1) keduanya memerlukan usaha yang sistematik; 2) keduanya menyatakan amplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan sumber; dan 4) tujuan dari keduanya adalah untuk memproduksi sesuatu. Dalam penerapannya pada pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistematik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan dalam setiap mengembangkan program, dan dalam penyelegaraan pembelajaran. Dalam kaitannya dengan aplikasi ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan. Untuk itu hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational pembelajaran, dan menilai hasil belajar peserta didik.
        Tujuan science dalam pendidikan memberikan jaminan bahwa peristiwa belajar yang diharapkan memiliki dampak terhadap efisiensi dan efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan hasil belajar dapat diprediksi dan dikontrol. Faktor ketiga yang mempengaruhi lahirnya teknologi pendidikan adalah adanya gerakan pengembangan konsep audio visual dalam pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan dengan konsep engineering dan science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audio visual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan aquipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan peralatan pendidikan dikelas digunakan setelah perang dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman yang populer menunjukkan bahwa teknologi pendidikan merupakan hasil evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan.
Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samuel Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara kongkret dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan tentang visual aid atau alat bantu mengajar yang berupa gambar, model, obyek yang berupa pengalaman belajar kongkrit kepada peserta didik dengan tujuan untuk menperkenalkan, membangun, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep abstrak. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Method in teaching (1946), yang menjelaskan “cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat sekarang. Konsepnya sangat mempengaruhi dan mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

Pengaruh Perkembangan Teknologi dalam Konsep Teknologi Pendidik
        Menurut  Iskandar Alisyahbana (1980) teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu, karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur, dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban, sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah "teknologi" belum digunakan. Istilah "teknologi" berasal dari "techne" atau cara dan "logos" atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah teknologi dapat diartikan dengan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah "cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra, dan otak manusia.
Beberapa ahli lain berpendapat sebagai berikut: Jaques Ellul (1967: xxv) memberi arti teknologi sebagai "keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia." Sedangkan Baiquni (1979:49) mengartikan teknologi sebagai "hasil penerapan sistematik dari sains, yang merupakan himpunan rasionalitas insani kolektif, untuk memanfaatkan hidup dan mengendalikan gejala-gejala di dalam proses produktif yang ekonomis".
AECT dalam buku The Definition of Educational Technology (1977) mengutip pendapat Hoban yang menyatakan bahwa, "Teknologi bukanlah sekadar mesin dan orang. Teknologi merupakan perpaduan yang kompleks dari organisasi manusia dan mesin, ide, prosedur, dan pengelolan." Sedang¬kan Finn dikutip dengan pernyataannya bahwa, "Teknologi mencakup proses, sistem, pengelolaan, dan mekanisme kontrol, baik yang mengankut manusia maupun bukan manusia, dan lebih dari itu adalah merupakan suatu cara memandang permasalahan ditinjau dari sudut kepentingan, kesulitan, kelayakan teknis pemecahannya, dan nilai ekonomi."
Teknologi merupakan sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu. Ia merupakan perpanjangan dari kemampuan manusia. ia dapat kita pakai untuk menambah kemampuan kita menyaji¬kan pesan, memproduksi barang lebih cepat dan lebih banyak, memproses data lebih banyak, memberikan berbagai macam kemudahan, serta untuk  mengelola proses maupun orang.
Teknologi dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama dan yang lazim kita kenal adalah teknologi fisik atau mekanik yang ditandai oleh mesin, alat, dan perangkatnya. Yang kedua kurang sekali dikenal se¬bagai teknologi, yaitu teknologi sosial yang merupakan tatanan atau acuan yang ditetapkan oleh orang lain dalam mengorganisasikan manusia dan lingkungannya, serta hal-hal yang mengatur tugas, fungsi, wewenang, dan kekuasaan.
     Teknologi tidak mengandung nilai dalam dirinya sendiri; semuanya tergantung bagaimana manusia merancangnya, memanfaatkannya, dan menerimanya. Teknologi yang berhasil memperingan kerja badan manusia, di lain pihak dapat menyebabkan pengangguran dan kejemuan kerja. Teknologi kedokteran yang berhasil mengurangi angka kematian serta memperpanjang usia manusia, dapat menyebabkan kesulitan mencari makan dan timbulnya kesulitan hidup pada usia lanjut.
Teknologi, karena sifatnya, mencampuri (mengintervensi) urusan manusia dengan lingkungannya, serta secara konseptual mencampuri peranan orang dalam dunianya. Keberhasilan atau kegagalan orang dalam dunia yang digelutinya dapat disebabkan oleh teknologi yang dipakai atau dihadapinya. Jadi, nilai segala bentuk teknologi tergantung pada kegunaannya bagi umat manusia serta akibatnya bagi diri dan lingkungannya.
Dengan mengambil analogi dari bidang industri barang dan jasa, dapat kita ketahui bahwa penerapan teknologi telah memungkinkan produksi lebih banyak, dengan kualitas yang lebih baik, dan biaya satuan produksi yang lebih rendah. Namun hal itu dicapai secara kolektif (tidak individual), dengan adanya pembagian tanggung jawab, diversifikasi peranan, perencanaan yang cermat, yang semuanya mengacu pada totalitas produksi yang lebih ekonomis. Memang perkembanpan itu juga membawa korban dengan digantikannya tenaga kerja manusia yang kurang efisien dengan mesin. Namun perlu diingat bahwa tenaga kerja yang digantikan itu adalah yang kurang serasi dengan keseluruhan proses produksi dan yang secara ekonomis kurang bermanfaat untuk dilatih ulang.
       Teknologi memang belum dapat kita manfaatkan sedemikian rupa sehingga timbul penemuan sosial (social invention), meskipun teknologi itu telah menghasilkan perubahan sosial. Dengan demikian, teknologi itu tidak dapat dituntut tanggung jawabnya bila terjadi sesuatu akibat negatif manusia pengembang dan pengguna teknologilah yang harus bertanggung jawab.

1 Response
  1. didikbrilian Says:
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar