m. arif am

TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh : Drs. M. ARIF AM, M.A.
Tujuan Pendidikan Nasional
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia). Tujuan universitas di Eropah adalah mencari kebenaran. Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara; pendidikan dirancang adalah untuk kepentingan negara.[1]  UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".[2] Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."[3]
Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".[4]
m. arif am

PAKAIAN PEREMPUAN MENURUT MUHAMMAD SHAHRUR:
Kajian Analisis Kritis Dengan Pendekatan Maqasid al-Shari’ah



A. Latar belakang masalah

Dalam perspektif Islam, pakaian menempati posisi yang sangat signifikan terhadap pembentukaan pribadi muslim yang takwa. Urgensi pakaian tampak, ketika Islam memerintahkan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan agar menutupi aurat pada pelaksanaan ibadah, seperti salat, dan dalam pergaulan sehari-hari.[1] Di samping sebagai penutup aurat, pakaian juga menjadi simbol karakter atau watak yang memakainya,[2] bahkan oleh sebagian kalangan pakaian yang disinyalir sebagai pakaian Islami, seperti hijab dan jilbab[3], diyakini sebagai simbol keislaman yang menonjol. Lebih dari itu, hijab juga menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan barat yang oleh kalangan konservatif dianggap bertentangan dengan ajaran Islam[4].
Di Aljazair misalnya, pada tahun 1980-an penjajah kolonial Perancis melakukan berbagai pertempuran dalam rangka gallitcitasi (prancisisasi). Di antaranya adalah mengadakan asimilasi kelas atas Aljazair, dengan mempranciskan wanita Aljazair. Premis yang melatarbelakanginya adalah, bahwa jika wanita telah tercerabut dari akar budayanya, maka yang lainnya akan mengikuti. Jilbab menjadi target strategi kolonial,  agar terlepas dari tradisi masyarakat Aljazair. Untuk menyokong strateginya, penjajah menghormati wanita yang tidak ber-jilbab, bahkan, pada bulan Mei 1998, mereka mengadakan upacara resmi pelepasan jilbab.[5]
Proses ini diperkuat dengan alasan bahwa aturan-aturan itu dibuat dalam rangka modernisasi Aljazair agar sesuai dengan selera penjajah; tapi Aljazair, sebagaimana nasionalis Arab lainnya, memandangnya sebagai taktik untuk menghancurkan budaya yang telah mengakar. Mereka juga menilai, di balik strategi itu ada tujuan yang mengerikan dan menjijikkan, yaitu pemerkosaan.[6] Lebih dari itu, taktik tersebut diyakini sebagai penghancuran budaya Islam. Efeknya adalah perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh Prancis, memperkuat jilbab  sebagai simbol nasional dan kultural perjuangan wanita muslim Aljazair.[7]
Sementara di Iran, isu tentang hijab harus ditempatkan dalam konteks kebijakan rezim Syah Reza. Rezim ini melarang penduduknya memakai jilbab. Pada tahun 1986, polisi menawan para wanita yang memakai jilbab dan dengan terpaksa mereka melepasnya. Kebijakan rezim ini disambut baik oleh orang-orang kelas atas yang telah ter-baratkan. Sejak tahun itu hijab menjadi arena utama konflik antara kekuatan modernitas melawan otentisitas Islam, dan setiap pihak telah memproyeksikan visi mereka sendiri akan moralitas.[8]
Di Indonesia, kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab tidak terlalu menonjol. Fenomena yang menonjol ialah jilbab sebagai trend, mode dan privasi, sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di masyarakat. Lagi pula salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung.
Satu hal yang cukup mengejutkan, sejak tahun 2000-an, banyak perempuan Indonesia yang semula ber-jilbab melepaskan jilbabnya. Hal itu terjadi, menurut Juneman, dipengaruhi oleh kepercayaan eksistensial, yakni fungsi simbolis (symbolic function) jilbab itu sendiri. Kepercayaan eksistensial dimaksud, mencakup suatu proses yang terus-menerus, dan seorang muslimah melihat jilbab itu terbentuk dan dibentuk kembali[9].  Proses pemaknaan muslimah terhadap jilbab sebagai fungsi simbolis, tidak terlepas dari perkembangan satu atau lebih dari enam aspek kepercayaan eksistensial lain, yang meliputi bentuk logika, pengambilan perspektif sosial, pertimbangan moral, batas-batas kesadaran sosial, lokus otoritas, dan koherensi dunia subjek[10]
Secara normatif, ajaran tentang jilbab dan hijab dapat ditemui dalam  ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:
1.      Ayat 53 surah al-Ahzab:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan ) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”.

2.      Ayat 59 surah al-Ahzab:
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu`min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

3.      Ayat 31 surah al-Nur:

Artinya: “Katakanlah pada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak dari padanya dan hendaklah menutupkan kain kudung (khimar)nya ke dada (juyub) mereka dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali pada suami mereka, ayah-ayah mereka atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra suami mereka, atau saudara-saudara laki mereka, atau putra-putra saudara mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” 


4.      Ayat 60 surah al-Nur:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopananlah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. 

Para ulama dalam memahami ayat-ayat di atas sangat beragam, karena kerangka metodologis penafsiran mereka berbeda. Kalangan muslim skripturalis berpendapat,[11] bahwa setiap perempuan muslim berkewajiban untuk memakai hijab, sebagaimana ketentuan ini berlaku bagi istri Nabi Muhammad Saw. Kelompok ini beralasan, walaupun ayat hijab redaksinya diarahkan pada para istri Nabi, kandungan perintahnya juga berlaku bagi perempuan muslim lainnya, karena esensi perintah hijab adalah untuk membersihkan hati (dhalikum at}har liqulubikum waqulubihinn). Tentu perempuan selain istri Nabi lebih butuh terhadap bersihnya hati.[12]
Berbeda dengan kalangan skripturalis, kelompok Islam modernis seperti Fazlurrahman berpendapat, bahwa hijab hanya diwajibkan kepada para isteri Nabi Saw, karena adanya situasi khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Pada masa itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi gangguan dan tekanan kaum kafir dan kaum munafik Madinah terhadap Nabi, baik yang ditunjukkan kepada beliau maupun melalui para istrinya. Selain itu, hijab juga diperintahkan pada para istri Nabi, sebagai tanda bahwa mereka mempunyai kedudukan yang lebih mulia dari pada perempuan-perempuan lainnya, yakni sebagai ibu kaum beriman (ummahat al-mu’minin). Tujuan terakhir ini terbukti pasca meninggalnya Rasulullah. Ketika itu, istri-istri Nabi muncul sebagai sosok yang berpengaruh di kalangan muslim awal, baik berkaitan dengan agama (al-din) budaya (al-thaqafah) maupun politik (al-siyasah).[13] Oleh karena itu, jika  hijab diperintah untuk melindungi, bahkan menekankan prestise perempuan yang menduduki posisi khusus, dapat disimpulkan bahwa dimensi kultural perintah hijab, lebih dominan dari pada dimensi religiusnya.
Kontroversi tentang hukum Islam –termasuk tentang keharusan seorang muslimah memakai jilbab atau tidak-- menurut M. Quraish Shihab, adalah sesuatu yang lumrah terjadi, karena beberapa hal sebagai berikut[14]: Pertama, makna kata yang digunakan ayat atau hadith. Satu kata dapat mengandung dua makna atau lebih, bahkan satu kata yang sama memiliki dua makna yang bertolak belakang; Kedua, riwayat-riwayat. Menurut Quraish Shihab, suatu riwayat—baik hadith Nabi maupun bukan—bisa  jadi diketahui oleh ulama A, sehingga berpendapat sesuai riwayat yang diketahuinya itu, dan boleh jadi tidak diketahui oleh ulama B, sehingga tidak menjadi bahan pertimbangannya. Bisa juga keduanya mengetahui riwayat yang sama, tetapi mereka berselisih pendapat dalam menilai kualitas riwayat tersebut; Ketiga, perbedaan dalam kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang digunakan masing-masing ulama. Misalnya tentang redaksi yang menggunakan bentuk perintah, kapan ia berarti wajib dan kapan berarti sunnat. Dalam hal larangan, apakah ia hanya terlarang tetapi tetap sah ataukah dia terlarang sekaligus tidak sah? Belum lagi tentang kontroversi penggunaan qiyas (analogi) dalam penggalian hukum.[15]
Pendekatan historis (hystorical approach) terhadap perintah hijab juga dilakukan oleh Muhammad Shahrur[16], salah seorang pemikir muslim kontemporer. Bagi Shahrur, hijab adalah pakaian untuk membedakan antara perempuan merdeka (al-hurrah) dan budak (al-amat). Karenanya, tegas Shahrur, hijab bukanlah perintah Tuhan (taklif shar’i) yang bisa dihukumi halal-haram, tetapi ia tidak lebih dari sebuah tradisi pakaian sebelum Islam (qabl bi’thah al-nabi) yang secara kebetulan berlaku pada masa Nabi Muhammad. Karenanya, lanjut Shahrur, pakaian hendaknya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakar dan lingkungan.[17]
Menurut Shahrur, perempuan dalam masyarakat Arab sebelum diutusnya Muhammad dapat dikelompokkan ke dalam penganut agama Yahudi, Nasrani, dan penyembah berhala. Mereka juga tidak terlepas dari pengaruh minoritas penganut Ibrahim dan orang-orang Persia, khususnya terkait dengan hukum perdagangan.[18]
            Secara geografis, masyarakat pra-kenabian ini tersebar di daerah Hijaz dan seluruh bagian jazirah Arab. Sepanjang wilayah selatan, mencakup daerah Yaman, wilayah daerah utara, mencakup negeri Syam dan sebagian daerah Iraq. Mayoritas penduduknya hidup di daerah padang pasir, dan wilayah tak bertuan yang diikat oleh silsilah keluarga dan suku. Sebagian kecil hidup di wilayah perkotaan yang berperan dalam menumbuhkan pasar dan aktifitas perdagangan secara menetap. Secara alamiah, akan terdapat perbedaan secara konstruksi posisi perempuan dalam kedua wilayah yang berbeda tersebut. Secara alamiah, konstruksi pandangan tersebut turut membentuk pokok-pokok ajaran agama yang hidup saat itu. Yang jelas, para pengkaji masalah ini akan mendapatkan kenyataan bahwa perempuan Arab merdeka dalam masyarakat pra-kenabian memperoleh posisi yang tinggi dan terhormat, sebagaimana kenyataan dalam adat, tradisi, kebisaan, serta dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pernikahan, penceraian, waris, hijab, pergaulan dengan lawan jenis, pembacaan puisi, dunia politik, hukum dan pertanian.[19]
Berdasarkan fakta historisis, Shahrur menegaskan bahwa persoalan hijab dan jilbab adalah sarat dengan pengaruh tradisi bangsa-bangsa Mesopotamia, seperti Sumeria, Babilonia dan Assyiria. Di samping itu, ajaran agama-agama sebelum islam, seperti Zoroaster, Manawiyyah, Yahudi dan Nasrani mepunyai andil besar terhadap pola pikir beberapa kalangan, yang diklaim sebagai “juru tafsir” al-Tanzil al-Hakim dalam sakralisasi hijab dan jilbab dengan jargon “pakaian syariat”, dan ironisnya diikuti oleh para pemikir Islam berikutnya tanpa seleksi.[20]
Tokoh kelahiran Damaskus Syiria ini, memberikan pemikiran yang sangat kontroversial terhadap teks ayat-ayat libas (pakaian : hijab, jilbab dan khimar), seperti penafsirannya berkaitan dengan surah al-Nur ayat 31:
Artinya : ”Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Shahrur menegaskan, bahwa kata khumur dalam ayat di atas, berasal dari kata al-khamr yang berarti penutup, sama saja penutup kepala, atau yang selainnya. Sedangkan kata juyub, yang berarti sesuatu yang terbuka mempunyai dua tingkat. Lebih jauh, tokoh yang meraih gelar Doktor teknik sipil Universitas Irlandia ini menjelaskan, bahwa juyub bagi kaum perempuan adalah anggota tubuh antara dua belah dada (ma bayn al-thadyayn), bagian di bawah payudara (ma tahta al-thadyayn), bagian di bawah ketiak (ma tah}ta al-ibt}ayn), kemaluan (al-farj), dan kedua bidang pantat (al-alyatayn).[21]
Perlu juga ditegaskan, bahwa Shahrur menggolongkan ayat 31 dari surah al-Nur di atas sebagai ayat hudud, sehingga ia menafsirkannya dengan pendekatan teori limit (naz}ariyat al-hudud) yang ia bangun. Batas minimal (al-hadd al-adna) bagian tubuh perempuan yang harus ditutupi adalah bagian-bagian yang termasuk kategori juyub dan batas maksimal (al-hadd al a’la), dan bagian-bagian ma z}ahara minha (wajah, dua telapak tangan).[22]
Bias dari teori limit Shahrur di atas, bahwa perempuan yang menutup seluruh tubuhnya telah melanggar batas-batas (hudud) Allah, sebagaimana perempuan yang memperlihatkan tubuhnya yang termasuk kategori juyub. Menurut Shahrur, perempuan bebas berpakaian dengan mode apa saja, selama tidak melanggar dua batas di atas, yakni batas minimal dan batas maksimal.[23]
Hemat penulis, konsep Shahrur tentang pakaian perempuan seperti gambaran di atas, walaupun sangat kontroversial dibandingakn dengan pemikiran ulama klasik dan kontemporer lainnya adalah wajar, karena metodologi dan teori yang ia pakai dalam pengkajiannya berbeda. Oleh karena itu, menganalisa pemikiran Shahrur dengan memakai pendekatan usul al-fiqh konvensional, tidak akan pernah mencapai titik temu, kecuali dengan menggunakan pendekatan maqasid al-shari’ah (tujuan legislasi hukum Islam), baik maqasid al-shari’ah sebagai doktrin maupun sebagai metode[24].
Dari segi bahasa, maqasid al-shari’ah berarti maksud atau tujuan disyari’atkannya hukum Islam. Karena itu, yang menjadi kajian utama di dalamnya, adalah mengenai hikmah dan ‘illat ditetapkannya satu hukum.  Tujuan hukum  perlu, dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tidak dapat lagi diterapkan. Dengan demikian, pengetahun tentang maqasid al-shari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya[25].
Pada dasarnya, bidang mu’amalah dalam ilmu fiqih dapat diketahui makna dan rahasianya oleh akal manusia (ma’qul al-ma’na). Sepanjang masalah itu reasonable, maka penelusuran   terhadap masalah-masalah mua’malah menjadi penting. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya, sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Penelitian terhadap tujuan hukum ini telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu.
Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli usul al-fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-shari’ah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum memahami benar tujuan Allah dalam menetapkan perintah-perintah dan larangan-Nya. Kemudian teori ini dikembangkan oleh muridnya yang terkenal amat genius, imam al-Ghazali dan mencapai puncaknya di tangan al-Shatibi dalam kitabnya al-Muwaqat fi Usul al-Shari’ah[26]
Secara global, tujuan legislasi hukum Islam adalah untuk mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang harus dilindungi dan diwujudkan tersebut adalah secara berurutan[27] sebagai berikut: agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan/kehormatan (al-nasl/al-‘ird) dan harta (al-mal)[28].
Lima unsur pokok di atas dibedakan menjadi tiga peringkat, al-daruriyyat, al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat[29]. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Maqasid al-daruriyyat (tujuan-tujuan primer) didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total[30]. Maqasid al-hajiyyat (tujuan-tujuan sekunder) didefinisikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk ke dalam kategori d}aruriyyat[31]. Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran tujuan sekunder ini dibutuhkan (sebagai terjemahan harfiah dari hajiyyat), bukan niscaya (sebagai terjemahan langsung dari daruriyyat). Artinya, Jika hal-hal hajiyyat tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurang-sempurnaan, bahkan kesulitan. Sementara maqasid al-tahsiniyyat (tujuan-tujuan tersier) didefinisikan sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah (sebagai terjemahan harfiah dari kata tahsiniyyat) proses perwujudan kepentingan daruriyyat dan hajiyyat. Sebaliknya, ketidak hadirannya tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika[32].    
Mencermati klasifikasi Maqasid al-Shari’ah dalam bingkai al-kulliyat al-khams dan pembagian sekala prioritasnya, maka masalah pakaian, baik untuk laki-laki maupun perempuan, adalah termasuk dalam kategori hifz al-nasl / ‘ird (memelihara keturunan / kehormatan), setingkat di atas kepentingan memelihara kemaslahatan harta (hifz al-mal), dan setingkat lebih rendah dari pada kepentingan memelihara kemaslahatan akal (hifz al-‘aql)[33]. Penempatan pakaian dalam hifz al-nasl / hifz al- ‘ird dapat dipahami dari redaksi ayat 30 Surah al-Nur : ذلك أزكى لهم  (yang demikian itu lebih suci bagi mereka), dan dan ayat 59 Surah al-Ahzab : ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين (yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu).
Surah al-Nur ayat 30 menjelaskan, bahwa laki-laki—tentu juga perempuan yang dijelaskan dalam ayat 31 dalam surah yang sama—diperintahkan agar menahan pandangan dari melihat aurat orang “lain”, dengan tujuan agar terhindar dari hal-hal yang mendorong seseorang melakukan zina, dan perbuatan zina dapat merongrong kehormatan seseorang, serta tidak jelasnya garis keturunan. Sedangkan Surah al-Ahzab ayat 59 menjelaskan, bahwa perintah terhadap istri- istri dan putri-putri Nabi, serta isteri-isteri orang-orang mukmin agar mengulurkan jilbab-nya. Tujuan dari perintah mengulurkan jilbab adalah agar identitas mereka dapat dikenal dan karenanya mereka tidak mendapatkan perlakuan yang menjurus pada perbuatan zina, sehingga kemaslahatan kehormatan dan keturunannya menjadi terusik[34]. Lebih tegasnya, bahwa pakaian tidak bersentuhan langsung dengan masalah agama, jiwa, akal, dan harta, tetapi hanya berkaitan dengan bagaimana manusia dapat memperoleh dan melestarikan kehormatannya sebagai manusia.
Sebagaimana uraian di atas, bahwa masing-masing dari al-kulliyat al-khams dapat dipetakan ke dalam kategori daruriyyat (primer, mendesak), hajiyyat (sekunder, dibutuhkan) dan tahsiniyyat (tersier, memperindah), maka pakaian dapat diklasifikasikan dalam tiga kagori tersebut. Kalau merujuk pada pendapat, baik dari kalangan Shafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, mereka sepakat bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan dua telapak tangannya.[35] Namun demikian, sesudah pertengahan abad ketujuh dari kalangan Hanabilah, muncul kecenderungan pengikut madhhab Hanabilah dalam mengambil zhahir riwayat yang datang dari Imam Ahmad bin Hanbal, yang menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan harus tertutup hingga kukunya; dan riwayat ini dianggap sebagai “yang masyhur dari Imam Ahmad” dan  zhahir madhhab Ahmad”. Sedangkan riwayat yang dari Imam Ahmad yang membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, dianggap sebagai riwayat sekunder[36].
Dengan demikian, mereka tidak mengklasifikasikan secara eksplisit keharusan menutupi aurat dalam tiga kategori maqasid al-shari’ah; daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Mereka hanya menyatakan bahwa menutupi aurat adalah wajib, dan tentu membiarkannya terbuka di hadapan laki-laki bukan mahram adalah haram, kecuali dalam keadaan tertentu, seperti untuk keperluan berobat dan lainnya[37]. Hemat penulis, dalam kerangka inilah terdapat relasi konsep pakaian menurut Muhammad Sharur dengan tiga kategori maqasid al-shari’ah.
Menurut Shahrur, perintah berpakaian bukan masalah halal atau haram, tetapi merupakan ta’limat (pengajaran) bagaimana seseorang dapat berperilaku dengan baik, sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Seseorang dapat “berijtihad” sendiri untuk menentukan model dan bagian mana saja yang akan didtutupi, selagi tidak melanggar batas minimal dan batas maksimal. Dengan demikian, batas minimal (al-hadd al-adna) pakaian perempuan merupakan daruriyyah, sesuatu yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan orang selain mahram. Karena bila ketentuan ini dilanggar, dia akan jatuh dari martabat kemanusiaannya, dan bisa jadi akan mendapatkan gangguan (adha) baik bersifat alami maupun sosial. Sedangkan menutupi bagian-bagian tubuh antara batas minimal dan batas maksimal termasuk dalam kategori hajiyyat, sesuatu yang “perlu” ditutupi, karena bila tidak, dia akan merasakan ketidaknyamanan dalam beriteraksi dengan orang lain, dan tidak sampai menurunkan derajat kemanusiaanya.
Menurut Shahrur, seseorang dituntut bijaksana dalam menentukan mode pakaiannya, agar sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Perempuan yang telah terbiasa memakai jilbab tidak harus melepaskan jilbabnya, justru bila jilbab menjadi kebutuhan (hajiyat), dia sebaiknya melestarikannya. Ketika seseorang berpakaian melebihi apa yang menjadi kebutuhan norma dan etika masyarakatnya, dengan tujuan memperindah dan tampak lebih gaul, maka pilihan ini dalam terminologi maqasid al-shari’ah termasuk kategori tahsiniyyat, tetapi kreasi tersebut jangan sampai menutupi seluruh anggota tubuhnya.
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah
Pembahasan dalam penelitian ini meliputi penelusuran landasan pemikiran, tujuan dan konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur dalam dua karyanya: al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’asirah, dan Nahwa Usul Jadidadh li al-Fiqh al-Islami Fiqh al-mar’ah, yang berkaitan dengan  relevansi dan implikasi  pemikiran Muhammad Shahrur terhadap maqasid al-shari’ah.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
  1. Apa yang menjadi landasan pemikiran konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur?
  2. Bagaimanakah konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur?
  3. Bagaimanakah implikasi pemikiran Muhammad Shahrur tentang pakaian perempuan terhadap maqasid al-shari'ah?
D. Tujuan Penelitian
1.  Untuk memhami landasan pemikiran tujuan dan konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur
2.  Untuk memahami tujuan dan konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur.
3. Untuk memahami relevansi konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur dengan maqasid al-shari’ah.

E. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini berguna untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam diskursus pakaian perempuan, terutama dalam dinamika kontemporer. Dengan menggunakan kajian pemikiran tokoh tentang pakaian perempuan melaluli karya intelektualnya dan menganalisisnya dengan pendekatan maqasid al-shari’ah akan diperoleh formulasi teoritis mengenai pakaian maqasidi, yakni pakaian yang sejalan dengan maqasid al-shari’ah.
2. Secara Praksis
Penelitian ini berguna bagi berbagai pihak yang berkompeten dan concern terhadap kajian keislaman terutama dalam masalah pakaian perempuan. Lebih dari itu, penelitian ini dapat dijadikan penelitian lebih lanjut bagi yang berkepentingan dalam hal yang sama serta obyek yang berbeda. 
F. Kerangka Teoritik
1. Pendekatan Pembahasan
Jenis kajian ini adalah kajian pemikiran tokoh, dalam hal ini pemikiran Muhammad Shahrur tentang pakaian perempuan dengan menggunakan pendekatan maqasid al-shari’ah. Maqasid al-shari’ah dalam ushul fiqh berfungsi ganda, yaitu: sebagai ruh (nilai, jiwa dan semangat) dari seluruh hasil olah ijtihad para ulama dalam menetapkan hukum Islam; dan sekaligus berfungsi sebagai metode (manhaj) dalam penggalian hukum (istimbat al-hukm) baik berdiri sendiri maupun berdampingan dengan metode istinbat lainnya.
Ruang lingkup maqasid al-shari’ah adalah upaya untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak datangnya bahaya dalam lima ranah esensial: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan/kehormatan (nasl/’ird) dan harta (mal). Lima ranah esensial terbut dalam tataran aplikatif  diklasifikasikan menjadi tiga dimensi: mendesak (daruriyat), kebutuhan (hajiyat), dan pelengkap (takmiliyat/tahsiniyyat).
Dari hal tersebut, pembahasan ini difokuskan pada maqasid al-shariah pakaian perempuan yang diajukan oleh Muhammad Shahrur, yang dalam pembahasan ini penulis kemukakan pemikiran Jasser Auda tentang Maqasid al-sharia’ah sebagai fisafat hukum Islam dengan pendekatan sistem[38], di samping  pemikiran al-Ghazali, al-Shatibi dan al-Tufi tentang pola-pola maqasid al-shari’ah dalam tataran aplikatif. Pembahasan maqasid sharia’ah sebagai filsafat hukum dengan pendekatan sistem ini menjadi penting untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai tujuan pakaian perempuan, tidak hanya berkutat dalam pesan yang tampak di permukaan teks, tetapi mencoba untuk keluar dari belenggu teks dengan mengidentifikasi unit-unit pemikiran Shahrur, elemen-elemen atau sub-sub sitem dan bagaimana unit-unit sistem tersebut saling berhubungan dan berintegrasi dalam proses dan fungsinya.
2. Kerangka Teori.
Noel J. Coulson menyatakan, bahwa hukum Islam terbagi dalam dua bagian: hukum Tuhan (divine law) dan hukum para ahli fiqih (juris law)[39]. Yang pertama adalah berkaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan bersifat absolute, sedang yang kedua adalah hukum-hukum yang diperoleh dari hasil pemahaman manusia yang bersifat historis dan tidak sakral.[40] Karena hukum tipilogi yang kedua ini menyejarah dan tidak kebal akan perubahan, maka setiap juris harus mempertimbangkan dimensi kemaslahatan dalam setiap produk hukum yang dihasilkannya. Namun demikian, kemaslahatan hukum dalam imajinasi juris harus terukur dan tidak melenceng dari parameter kemaslahatan yang oleh para ulama telah dirumuskan dalam teori maqasid al-shari’ah.
Maqasid al-shari’ah yang formulasinya menurut para peneliti mencapai puncak kematangan di tangan kreatif al-Syatibi, disadari atau tidak, adalah diwarnai oleh imajinasi keagamaan (al-mikhyal al-dini) dan memori (zakirah)[41] keberagamaan, sosial, ekonomi bahkan juga politik ketika itu, yang dapat dipastikan berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini. Kemaslahatan dunia profesi dan mode pakaian tidak cukup hanya diukur dengan al-kulliyat al-khams, tanpa dilengkapi dengan perangkat-perangkat teori modern.  Oleh karena itu penelitian ini berpijak pada tiga kerangka teori maslahah, yaitu maslahah yang digagas oleh al-Ghazali, al-Shatibi dan al-Tufi. Tiga teori maslahah ini saling melengkapi dalam menganalisa tujuan pakaian perempuan. 
G. Penelitian Terdahulu
Telah banyak  penelitian dan karya ilmiah yang membahas tentang pakaian perempuan menurut Islam, baik dari pemikiran klasik-konvensional, maupun modern-liberal. Karya-karya tersebut ada yang bersifat khusus membahas tentang pakaian perempuan dan ada yang hanya merupakan sub bahasan dari tema besar tentang perempuan, atau bahkan menjadi sub bahasan dari tafsir al-Qur`an bercorak tahlili. Sebaliknya, jarang sekali kajian tentang pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur, apalagi pembahasan yang secara spesifik tentang tujuan pakaian perempuan dan relevansinya dengan maqasid al-shari’ah.
Kajian tentang pemikiran Muhammad Shahrur dilakukan oleh Muhyar Fanani dalam disertasinya dengan judul, Pemikiran Muhammad Syahrur Dalam Ilmu Usul Fikih: Teori Hudud Sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Usul Fikih (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005). Seperti tampak dalam judul disertasi tersebut, Muhyar Fanani memfokuskan kajiannya dalam ranah teori hudud yang digagas oleh Muhammad Shahrur dan uergensinya dalam menganalisis permasalahn fikih kontemporer. Dalam disertasi tersebut, masalah pakaian perempuan hanya menjadi salah satu contoh aplikatif penggunaan teori hudud, itupun sangat singkat dan gamblang.   
Penelitian ilmiah tentang pakaian muslimah yang penulis temukan antara lain:  pertama, Muhammad Fuad al-Barazi, Hijab al-Muslimah Bayn Intihal al-Mubtilin wa Ta`wil al-Jahilin (Riyad: Maktabah Adwa` al-Salaf, 1995). Buku ini membahas secara detail tentang hijab mulai aspek definisi, historisitas, syarat, hukum hingga tujuan dan hikmah disyariatkannya. Setiap pembahasan tentang satu tema, diulas berbagai pendapat para ulama berikut argumentasinya, kemudian Muhammad Fuad men-tarjih salah satu dari sekian pendapat yang dianggapnya lebih mendekati pada kebenaran menurut al-Qur`an dan al-Hadits, tentu dalam batas-batas interpretasi dia terhadap teks yang bercorak leteralis-tekstualis.  Di bagian akhir buku ini, Muhammad Fuad memberikan komentar dan penolakan terhadap pendapat para pemikir modern yang mengatakan bahwa hijab adalah produk budaya Arab, dan tidak mempunyai landasan yang kuat dalam Islam. Para pemikir yang berpandangan demikian adalah Rifa’ah al-Tahtahawi (1801-1873), Murqis Fahmi (1870-1955), dan Qasim Amin (1863-1908). Mereka semua adalah para pemikir dari Mesir. Muhammad Fuad sama sekali tidak menyinggung tentang konsep pakaian menurut Muhammad Shahrur, yang sejatinya lebih liberal daripada gagasan para pemikir yang  disebutkan dalam buku ini. Padahal buku Shahrur, al-Kitab wa al-Qur-`an: Qira`ah Mu’asirah, sudah terbit tiga tahun sebelum terbitnya karya Muhammad Fuad, yakni pada tahun 1992 di Kairo oleh penerbit Sina Publisher dan Al-Ahali, dan banyak mendapatkan respon baik dari para penentang maupun para pendukungnya,  seperti Jamal al-Banna, seorang intelektual Muslim Mesir, tokoh gerakan buruh dan adik Hasan al-Banna yang terkenal itu.
Kedua, Abdul Halim Syuqqah, Kebebasan Wanita, terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). Dalam buku ini, Abdul Halim Syuqqah menegaskan bahwa seorang perempuan berkewajiban menutupi seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan telapak tangan, ketika berada di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Dibolehkannya seorang perempuan menampakkan wajahnya di hadapan laki-laki bukan mahram, menurut Abdul Halim, adalah bukan semata-mata karena menutupi wajah akan mendatangkan mashaqqah (kesulitan) bagi perempuan dalam berinteraksi sosial, tetapi juga karena Hadith yang biasa dijadikan dalil dalam mewajibkan menutup wajah adalah lemah (da’if). Namun demikian, bukan berarti hukum jawaz (boleh) menampakkan wajah tersebut adalah permanent. Dalam kondisi-kondisi tertentu yang bisa menjebak perempuan dalam lembah fitnah, menutup wajah bagi perempuan  justru hukumnya berubah wajib. Buku ini memaparkan dialog “imajinatif” antara penulisnya dengan para pendukung kewajiban menutupi wajah yang di penghujung dialog itu “kemenangan” berada di pihak penulis buku tersebut.
Tujuan pakaian perempuan menurut buku ini ada dua: pertama, untuk menutup aurat dan menjaga terjadinya fitnah; dan yang kedua, untuk membedakannya dari wanita lain dan sekaligus sebagai penghormatan bagi perempuan muslimah. Pembahasan tujuan pakaian perempuan ala Abdul Halim ini, berbeda dengan maqasid al-shari’ah yang sudah baku dalam kajian usul al-fiqh seperti al-Shatibi dalam bukunya, al-Muwaqat fi Usul al-Shari’ah dan lainnya. Maqasid al-shari’ah dalam ushul al-fiqh, dimaksudkan untuk memelihra dan mewujudkan kemaslahatan dan sekaligus menolak timbulnya mafsadah (bahaya) dalam lima hal pokok (al-kulliyat al-khams), yaitu: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan/ kehormatan (nasl/’ird) dan harta (mal). Lima hal pokok tersebut, masih diklasifikasikan dalam tiga kategori: mendesak (daruriyat), kebutuhan (hajiyat) dan pelengkap (tahsiniyyat) saja. Dengan demikian, uraian tujuan pakaian perempuan yang dilakukan Abdul Halim, keluar dari sistimatika lazimnya maqasid al-Shariah, apalagi dengan tujuan dan konsep pakaian yang ditawarkan Muhammad Sharur.
Buku ketiga, Fadwa El Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Terj. Mujiburrohman (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003).  Buku ini tidak berpretensi membela ataupun, sebaliknya, menyerang praktik berjilbab, melainkan lebih sebagai upaya ilmiah untuk menghadirkan pemahaman lebih proporsional tentang pola berbusana. El Guindi menganalisis jilbab dalam konteks berpakaian multidimensi sebagai model komunikasi yang dibangun dari pengetahuan lintas budaya, lintas agama, dan lintas gender. Menurut El Guindi, bagi penganut Kristen Protestan, jilbab merupakan simbol bermuatan ideologis. Di kalangan umat Katolik, jilbab menandai pandangan tentang kewanitaan dan kesalehan, sedangkan pada masyarakat Islam, jilbab bisa menjadi alat resistensi. Karena kajian jilbab dalam buku ini menggunakan pendekatan antropologi pakaian, maka tidak heran kalau temuan-temuannya tentang fungsi jilbab menembus sekat-sekat budaya, agama dan gender. Lagi-lagi penulis tidak mendapati dalam buku ini tujuan pakaian perempuan ala maqasia al-shari’ah.
Keempat, Muhammad Shahrur, dalam dua bukunya: al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’asirah (Kairo: al-Ahali, 1992), dan Nahwa Usul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami Fiqh al-Mar’ah (Kairo: al-Ahali, 2000). Al-Kitab wa al-Qur`an adalah buku pertama karya Shahrur yang penulisannya menghabiskan waktu dua puluh tahun, yaitu sejak tahun 1970 M. sampai tahun 1990 M, ketika dia menyelesaikan disertasi doktoralnya di Irlandia sampai diterbikan pertama kali di Damaskus dan kemudian di Kairo. Dalam buku ini, Shahrur membahas Konsep pakaian perempuan yang, menurut Shahrur sebagai contoh fikih modern dalam studi perempuan menurut Islam, setelah Shahrur membahas tema poligami, waris dan maskawin dengan menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan teori limit (nazariyat al-hudud) yang ia bangun sendiri. 
Konsep pakaian perempuan yang ditawarkan Muhammad Shahrur dalam buku ini pada dasarnya bermuara pada penafsiran Shahrur terhadap kata zinah (hiasan) dan juyub (lekuk-lekuk dan lubang pada anggota tubuh perempuan?) yang terdapat dalam surah al-Nur ayat 31. Shahrur menegaskan, bahwa seluruh anggota tubuh perempuan adalah hiasan. Hanya saja, sebagaimana penjelasan al-Tanzil, kata Shahrur, tubuh perempuan itu ada yang secara kodrati harus tampak (zinah zahirah) seperti wajah dan tangan, juga ada yang harus dilindungi, ditutupi dan disembunyikan (zinah makhfiyyah), yaitu bagian tubuh perempuan yang termasuk kategori juyub, tegasnya yaitu: antara kedua belah buah dada (ma bayn althadyain), di bawah dua buah dada (ma tahta al-thadyain), bawah ketiak (tahta al-ibtayn), kemaluan (al-farj) dan kedua bidang pantat (al-alyatain).
Menurut Shahrur, seorang perempuan minimal menutupi bagian-bagian tubuh tersebut dalam aktifitas kesehariannnya dalam berinteraksi dengan orang selain mahram. Selebihnya, menyesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi masing-masing perempuan, selagi tidak sampai menutupi seluruh anggota tubuhnya. Pakaian tidak termasuk dalam ranah halal-haram, tetapi  hanyalah ta’limat (pengajaran) agar tampak sopan dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Karenanya, ia menegaskan bahwa kesalahan besar para ulama klasik yang memahami dan mendefinikan aurat dengan “bagian-bagian tubuh yang harus ditutupi dan haram membukanya”. Bagi Shahrur, aurat adalah sesuatu yang bila kelihatan, sesorang akan merasa malu . Untuk itu, ketika kita melihat anggota tubuh orang lain yang sekiranya dia tahu menjadikan malu, kita harus bersikap seperti orang yang tidak melihatnya, agar yang bersangkutan tidak merasa malu. Oleh karena itu, tegas Shahrur, sebelum Allah memerintahkan menutup juyub, yang diperintahkan terlebih dahulu adalah menahan pandangan (ghadd al-basar).
Kalaupun Shahrur secara garis besar menyebutkan dalam dua buku tersebut tujuan pakaian perempuan, tetapi penjelasan tersebut belum memberikan titik terang adanya relevansi antara tujuan dan konsep pakaian yang ia tawarkan dengan maqasid al-shari’ah. Karenanya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan relevansi di antara keduanya, sehingga daya tangkap kita akan gagasan Muhammad Shahrur tentang pakaian perempuan  tidak hanya berkutat dalam wilayah metodologi penafsirannya yang oleh sebagian orang dianggap tidak “lumrah” dalam dunia tafsir.
2. Kerangka Teori.
Noel J. Coulson menyatakan, bahwa hukum Islam terbagi dalam dua bagian: hukum Tuhan (divine law) dan hukum para ahli fiqih (juris law)[42]. Yang pertama adalah berkaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan bersifat absolute, sedang yang kedua adalah hukum-hukum yang diperoleh dari hasil pemahaman manusia yang bersifat historis dan tidak sakral.[43] Karena hukum tipilogi yang kedua ini menyejarah dan tidak kebal akan perubahan, maka setiap juris harus mempertimbangkan dimensi kemaslahatan dalam setiap produk hukum yang dihasilkannya. Namun demikian, kemaslahatan hukum dalam imajinasi juris harus terukur dan tidak melenceng dari parameter kemaslahatan yang oleh para ulama telah dirumuskan dalam teori maqasid al-shari’ah.
Maqasid al-shari’ah yang formulasinya menurut para peneliti mencapai puncak kematangan di tangan kreatif al-Syatibi, disadari atau tidak, adalah diwarnai oleh imajinasi keagamaan (al-mikhyal al-dini) dan memori (zakirah)[44] keberagamaan, sosial, ekonomi bahkan juga politik ketika itu, yang dapat dipastikan berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini. Kemaslahatan dunia profesi dan mode pakaian tidak cukup hanya diukur dengan al-kulliyat al-khams, tanpa dilengkapi dengan perangkat-perangkat teori modern.  Oleh karena itu penelitian ini berpijak pada tiga kerangka teori maslahah, yaitu maslahah yang digagas oleh al-Ghazali, al-Shatibi dan al-Tufi. Tiga teori maslahah ini saling melengkapi dalam menganalisa tujuan pakaian perempuan. 

H. Metode Penelitian
1.  Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam kategori kajian kepustakaan (library research) terhadap: Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur: Analisis Kritis Dengan Pendekatan  Maqasid al-Shari’ah. Oleh karena itu, pengumpulan data juga berdasarkan pada sumber pustaka. Sumber pustaka dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah karya Muhammad Shahrur sendiri yang membahas tentang pakaian perempuan, yang dalam hal ini terdapat dua buku: pertama, al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu’asirah dan Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-mar`ah, sedangkan sumber sekundernya adalah tulisan-tulisan, baik berupa artikel maupun buku yang berkaitan dengan pembahasan pakaian perempuan dan maqasid al-shari’ah.  
2. Teknik Analisa Data
Untuk menganalisis data yang terkumpul digunakan metode induktif,  yaitu analisis yang berangkat dari realitas empiris berupa pemikiran Muhammad Shahrur tentang pakaian perempuan.[45] Dari pemikiran tersebut akan diketahui implikasinya terhadap realitas pakaian perempuan yang digunakan oleh masyarakat, terutama yang terkait langsung dengan maqasid al-shari’ah sebagai sebuah teori dan dasar hukum bagi masyarakat yang berpedoman pada pakaian perempuan menurut syariat Islam. Metode induktif digunakan ketika mengkaji  tujuan beberapa atribut pakaian yang bersifat parsial yang kemudian diupayakan dapat dijadikan satu kesimpulan yang bersifat umum. Dengan pendekatan analisis wacana untuk mengkaji eksistensi sekaligus implikasi pemikiran Muhammad Shahrur tentang tujuan dan konsep pakaian perempuan diantara para pemikir lainnya, dan sekaligus untuk mengetahui orisinalitas ide-idenya. Metode komparatif juga digunakan dalam mengkaji  relevansi tujuan dan konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur dengan maqasid al-shari’ah.

I.       Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian ini menggunakan sistematika pembahasan sebagaimana berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi; Latar Belakang Masalah, berupa deskripsi permasalahn berkaitan dengan pakaian perempuan, khususnya tujuan dan konsep pakaian yang digagas Muhammad Shahrur, dan relevansinya dengan maqasid al-shari’ah; kemudian Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Pendekatan dan Kerengka Teori, Metode pembahasan, dan Sistematika Pembahasan. Bab pertama ini penting, untuk memberikan arah yang jelas dan sistematis dalam penulisan penelitian ini.
Bab kedua, membahas tentang metode ijtihad dalam Islam yang meliputi metode ijtihad lafzi dan maknawi berikut dalil-dalil penggalian hukum Islam. Kemudian diikuti pembahasan tentang tinjauan umum tentang maqasid al-shari’ah dan pakaian menurut Islam. Bab ini merupakan pembahasan kerangka teori bagaimana sesungguhnya ijtihad dan maqasid al-shari’ah menurut para ulama. Pembahasan ini dapat memberikan gambaran fungsi ijtihad dan maqasid al-shari’ah, karakteristik dan cara mengetahuinya dalam penggalian hukum Islam. Kajian maqasid al-shariah difokuskan pada pemikiran al-Ghazali, pencetus konsep al-kulliyat al-khams (lima hal pokok), dan pemikiran al-Shatibi dan al-Tufi. Pemikiran masing-masing dari tiga tokoh tersebut, memiliki karakteristik tersendiri yang saling melengkapi dalam menganalisis hukum Islam.  Sedangkan pembahasan pakaian menurut Islam pada bab ini, meliputi tentang pengertian pakaian islami, dengan mengambil tema hijab, jilbab dan khimar. Kemudian penjelasan tentang sejarah pakaian, kontroversi tentang batas aurat, syarat-syarat pakaian, tujuan dan hikmah pakaian menurut Islam, terakhir penulis kemukakan tentang trend yang terjadi belakangan tentang pemakaian jilbab, baik sebagai simbol kesalehan, kesopanan dan perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat.  Kajian ini diperlukan agar nantinya dapat diketahui perbedaan dan sekaligus persamaan antara pemikiran Muhammad Shahrur tentang tujuan dan konsep pakaian perempuan yang akan dibahas pada bab empat.
Bab ketiga, membahas tentang Muhammad Shahrur dan teori penggalian hukum Islam. Bab ini khusus mendalami sosok Muhammad Shahrur dari aspek sketsa kehidupan, landasan pemikiran, dan artikulasi teoritiknya. Pembahasan sketsa kehidupan diperlukan, karena pemikiran seseorang –termasuk Shahrur-- tidak muncul begitu saja di ruang hampa. Sebuah pemikiran, disadari atau tidak, pasti dipengaruhi oleh  memori (dhakirah) realitas kehidupannya, dan imajinasi (khayal) tantang kehidupan yang akan datang, baik imajinasi tentang sosial, budaya dan bahkan agama. Pengaruh memori dan imajinasi dalam pemikiran seseorang, terlihat dalam landasan pemikiran Shahrur dalam hukum Islam serta artikulasi teoritiknya.
Bab keempat, membahas tentang pemikiran Muhammad Shahrur tentang pakaian perempuan dan relevansinya dengan maqasid al-shari’ah, meliputi landasan pemikiran, klasifikasi pakaian dan konep pakaian menurut Muhammad Shahrur, kemudian analisis kelabihan dan kekurangan tujuan dan konsep pakaian perempuan yang ditawarkan Shahrur, dan terakhir, analisis tentang relevansinya dengan maqasid al-shari’ah. Pembahasan tersebut merupakan sentra kajian dalam penelitian ini. Setiap sub bahasan memiliki keterkaitan dengan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang tujuan dan konsep pakaian perempuan menurut Muhammad Shahrur serta relevansinya dengan maqasid al-syari’ah.
Bab kelima adalah Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan merupakan jawaban dari item-item dari rumusan masalah yang ada pada bab pertama. Disamping itu, penulis berikan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat pagi pembaca, khususnya bagi penulis sendiri, berkaitan dengan tema pakaian. Pada bagian paling akhir, penulis juga berikan rekomendasi tentang pakaian perempuan yang didasarkan pada hasil temuan dalam penelitian.   




Out Line Penelitian
PAKAIAN PEREMPUAN MENURUT MUHAMMAD SHAHRUR
(Kajian Analisis Kritis Dengan Pendekatan Maqasid al-Shari’ah)


Bab I   : Pendahuluan
A.      Latar Belakang Masalah
B.      Batasan Masalah
C.     Rumusan Masalah
D.     Tujuan Penelitian
E.      Manfaat Penelitian
F.      Kajian Pustaka
G.     Kerangka Teoritik
H.     Metode Penelitian
I.        Sistematika Pembahasan

Bab II    : Ijtihad, Maqasid al-Shari’ah dan Pakaian Perempuan Menurut Islam
A.      Metode Ijtihad dalam Islam.
a.       Metode Istinbat Hukum Lafzi dan Ma’nawi
b.       Dalil-Dalil Hukum dalam Ijtihad
B.      Maqasid al-Shariah
a.       Teori-Teori Maqasid al-Shari’ah: al-Ghazali, al-Shatibi dan al-Tufi..
b.       Cara Mengetahui Maqasidal-Shari’ah
c.       Klasifikasi dan Fungsi Maqasid al-Shari’ah.
C.     Pakaian Perempuan Menurut Islam.
1.   Pengertian Pakaian Islami: Hijab, Jilbab dan Khimar
2.   Sejarah Pakaian Perempuan
3.   Batas aurat Perempuan
4.   Syarat-Syarat Pakaian Islami
5.       Tujuan dan Hikmah Pakaian Islami
6.       Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, Trend dan Perlawanan

 Bab IV    :  Muhammad Shahrur dan Pakaian Perempuan
A.      Sketsa Kehidupan dan Perjalanan Intelektual
B.      Teoti Limit (Nazariyat al-Hudud)
C.     Rekonstruksi Fungsi Sunnah dan Hadith
D.     Al-Kaynunah, al-Sayrurah dan al-S}ayrurah
E.      Pemikiran Muhammad Shahrur Tentang Pakaian Perempuan

Bab V  : Studi Analisis  Pemikiran Muhammad Shahrur Tentang Pakaian Perempuan Perspektif maqasid al-shari’ah
A.      Tujuan Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur Perspektif Maqasid al-shari’ah
B.      Konsep Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur Perspektif Maqasid al-Shari’ah

Bab VI   : Penutup
A.      Kesimpulan
B.      Saran-Saran
Rekomendasi
Bibliography







[1]Periksa Abb al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol 2 (Istambul:Waqf al-Ikhlas, 1990), 191-192.
[2]Abdul Halim Syuqqah, Kebebasan Wanita, Vol 4, terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 27.
[3] Jilbab (cetak miring) berbeda dengan istilah jilbab dalam bahasa Indonesia yang biasanya diartikan sebagai busana perempuan yang berfungsi menutupi kepala, leher dan dada perempuan. Pengertian jilbab seperti itu dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah khimar. Sementara Jilbab dalam diskursus Arab dipahami sebagai busana perempuan yang berfungsi menutupi seluruh tubuhnya, baik berupa pakaian dalam atau luar. Dalam disertasi ini, penulisan jilbab terkadang juga ditulis tanpa cetak miring, ketika dimaksudkan sebagai istilah busana dalam konteks budaya Indonesia atau yang semakna dengan istilah jilbab di Indonesia.  Pembahasan lebih mendalam tentang istilah-istilah pakaian perempuan akan dibahas pada bab dua disertasi ini.
[4]Periksa Nurul Agustin, SS, MA “Gender” Ensiklopedi Islam Tematis, Vol 6 (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, t.t), 182.
[5]Fadwa El Guindi, Jilbab Antara Keselehan, Kesopanan Dan Perlawanan, terj. Mujiburrohman (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), 270.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid., 276
[9] Juneman, Psychology of Fashion Fenomena Perempuan [Melepas] Jilbab, (Yogyakarta: LKiS, 2010), 338.
[10] Ibid.
[11]Kalangan skripturalis adalah kalangan yang menerima teks-teks al-Quran dan al-Hadith dengan apa adanya, tanpa menerima ta’wil dan telaah filosofis. Kalangan non skripturalis disebut modernis, subtansialis dan liberalis. Periksa R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah : Satu bentuk Pemikiran Dan Aksi Politik Islam Orde Baru” terj. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ullumul Qur’an (Jakarta: Aksara Buana, 1991), 54. Periksa pula Jalaluddin Rahmat, Konstektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah  (Jakarta: Paramidana, t.t)
[12]Lihat Muhammad Fuad al-Barazi, Hijab al-Muslimah (Riyad: Muktabad Ushul al-Salaf, 1995), 123. Kupasan serupa lihat pula ‘Atiyah Saqar, al-Hijab Bayn al-Tashri’ wa al-Ijtima  (Kairo : al-Fanniyah,1991), 176.
[13]Ensiklopedi, Ibid
[14] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer, Cetakan ke IV (Ciputat: Lentera Hati, 2009), 24-29.
[15] Ibid.
[16] Muhammad Shahrur dilahirkan di Damaskus, Suriyyah pada tanggal 11 April 1938, putra dari perkawinan antara Deyb Shahrur dengan Siddiqah bin S}alih Filyun. Shahrur dikarunia lima orang anak: T{ariq, al-Laith, Basul, Masun dan Rima sebagai buah pernikahannya dengan Azizah. Secara akademis dia meraih gelar Doktor  dibidang mekanika pertanahan dan fondasi (mikanika turbat wa asasat) di Universits Irlandia. Kesibukannya sehari-hari adalah sebagai dosen Fakultas Teknik Sipil mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi. Hebatnya, dia produktif menulis tema-tema kajian keislaman dan menghasilkan karya monumental. Buku-buku yang telah dia terbitkan sebagai buah pikirannya antara lain: al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’as}irah (Damaskus : al-Ahali, 1990), Nahwa Usul Jaddah li al-Fiqh al-Islami ( Damaskus : al-Ahali, 2000), al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam ( Damaskus : al- Aha.li, 1994), Dira.sat Islamiyyah Mu’a.sirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama’ (Damaskus : al-Ahali, 1996).   
[17]Muhammad  Shahrur, Nahw Usul.,  355.
[18]Ibid.
[19]ibid
[20]Shahrur, Nahwa Usul…, 360. Sikap seperti itu menurut Shahrur, ada kesalahan fatal, karena merubah unerversalitas Ialam menjada pesan yang sempit, bersifat lokal, dan mengatributkan aspek kesakralan pada peninggalan tradisional, walaupun hal itu buah dari “rekayasa” interpretasi manusia, sehingga pesan yang orisinil menjadi tertutup oleh warisan menusia. Akibatnya kebudayaan Islam menjadi membatu. Periksa Muhammad Shahrur, Teks Ketuhanan Dan Pluralisme Pada Masyarakat Muslim, terj. Mohammad Zaki Husein (Yogyakarta: Hans Bunga, t.t), 44.
[21]Muhammad Shahrur, al-Kitab., 607. Penafsiran Shahrur ini sangatlah “nakal” bila kita bandingkan dengan ulama’ pendahulunya, seperti Ibn Jarir, al-Tabasari, al-Jassas, Ibn al-‘Arabi. Periksa Ibn al-Jarir, Tafsir al-Tabari, Vol 9 (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 303, al-Tabarisi, Majma’ al-Bayan, Vol 7 (Bairut : Dar al-Fikr, t.t), 215-216, al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, Vol 3 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), 460-461, Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Vol 3 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t),381-382.
[22]Ibid,, 618.
[23]Ibid.
[24] Maqasid al-shari’ah sebagai doktrin dimaksudkan untuk merealisasikan dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Sedangkan sebagai metode, maqasid al-shari’ah dimaksudkan sebagai pisau analisis atau kacamta untuk membaca realitas yang ada dalam dinamika kehidupan manusia. Periksa, Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), 45-48.
[25] Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid ‘Inda al-Shatibi, (Rabat} : Dar al-Aman, 1991), 67.
[26] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, 44.
[27] Graduasi al-kulliyaal al-khams seperti tersebut meniscayakan kepentingan memelihara kemaslahatan agama didahulukan dari pada jiwa, harta dan seterusnya. Demikan pula jiwa didahulukan dari aspek-aspek dibawahnya dan harta merupan aspek kemaslahatan terakhir yang harus dipelihara. Periksa Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr,1986),1028. Sedangkan al-Ghazali menempatkan Maqasid al-Shari’ah al-nasl (memelihara keturunan) sebelum hifz al-‘aql (memelihara akal). Periksa Ibid.
[28] Menurut al-Shatibi, karena dalil-dalil yang digunakan dalam menentukan al-kulliyat al-khams (lima masalah pokok: agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta) adalah qat’i, maka ia juga dapat dikelompokkan sebagai dalil qat’i. Periksa ,Abu Ish}aq al-Shat}ibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Vol 2, ( Bairut : Dar al-Kutub al-‘Imiyyah, 1971),7.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid, 9.
[32] Ibid.
[33] Maqasid al-Shari’ah dapat diketahui melalui tiga cara: pertama, dijelaskan secara tegas dalam nass; kedua, melalui penelitian terhadap redaksi ayat al-Qur’an dan Hadith yang memuat hukum;  dan ketiga, mengikuti pemahaman sahabat Nabi terhadap hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah berikut penerapannya. Periksa, Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqasid al-‘Amah li al-Shari’ah al-Islamiyyah, (Kairo : Dar al-Hadith, tt), 112-122.
[34] Ibid, 459-463.
[35] Periksa Wahbah al-Zuh}aili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol.1 (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), 743-754.
[36] Diantara tokoh madhhab Hanabilah yang getol menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan perempuan adalah aurat adalah  Ibn Taimiyah (w. 763), Burhan al-Din bin Muflih al-Muarrikh (w. 884), al-Mardawi (w. 885), al-Hijawi ( w. 968), al-Futuhi ( w. 972) al-Bahuti (w. 1051) dan al-Ba’li (w. 1192). Periksa Bdul Halim Abu Syuqqah, Kebebbasan Wanita, Terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 255-259. Tokoh-tokoh madhhab Hanabilah tersebut dalam membahas aurat membedakan antara aurat dalam salat dan aurat di luar salat. Dalam salat, seperti umumnya ulama yang lain, mereka mensyaratkan terbukanya wajah dan dua telapak tangan, sementara di luar salat, perempuan hanya boleh memberikan celah lubang pada salah satu kedua matanya untuk dapat melihat apa yang ada di hadapannya. Periksa Ibid.   
[38] Jasser Auda, Maqasid al-Shariah  as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach ( London-Washington: The International Institite of islamic Thought, 2008), 34-42.
[39] Noel J Coulson, Conflicts and Tension in Islam  Jurisprudence (Chicago: The University of Cichago Press, 1969), 3.
[40] Menurut Muhammad Arkoun, ajaran Islam yang sampai kepada kita adalah  terdiri dari dua tradisi: pertama, tradisi dengan “T besar” yang berarti tradisi transedental, abadi dan tidak berubah; kedua, tradisi dengan “t kecil” yang merupakan produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun maupun hasil penafsira atas teks keagamaan. Periksa Muhammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Qira`ah ‘Ilmiyyah, Terj. Hashim Salih (Bairut: Markaz Inha` al-Qawmi, 1987), 19-20.
[41] Pemikiran seseorang tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang memori (zakirah) serta imajinasi (khayal) yang dibentuk oleh pola keagamaan, sosial, budaya dan lainnaya. Periksa Muhammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, Terj. Hashim salih ( Bairut: Dar al-Saqi, 1998), 240.
[42] Noel J Coulson, Conflicts and Tension in Islam  Jurisprudence (Chicago: The University of Cichago Press, 1969), 3.
[43] Menurut Muhammad Arkoun, ajaran Islam yang sampai kepada kita adalah  terdiri dari dua tradisi: pertama, tradisi dengan “T besar” yang berarti tradisi transedental, abadi dan tidak berubah; kedua, tradisi dengan “t kecil” yang merupakan produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun maupun hasil penafsira atas teks keagamaan. Periksa Muhammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Qira`ah ‘Ilmiyyah, Terj. Hashim Salih (Bairut: Markaz Inha` al-Qawmi, 1987), 19-20.
[44] Pemikiran seseorang tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang memori (zakirah) serta imajinasi (khayal) yang dibentuk oleh pola keagamaan, sosial, budaya dan lainnaya. Periksa Muhammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, Terj. Hashim salih ( Bairut: Dar al-Saqi, 1998), 240.
[45] Widodo J Pudjirahardjo,  Logika Berfikir Ilmiah, Materi Kuliah Program Doktor (Surabaya:Program Pascasarjana IAIN Surabaya,2003).



                                                                  Catatan dari penguji:
1. Pendekatan, pembahasan jangan disatukan dg kerangka (lebih tepat perspektif) Teori. Pendekatan berada dalam satu rumpun dengan metode penelitian. Kerangka (perspektif teori) tentunya bukan lagi maqasid al-shari'ah. Perspektif teorinya mungkin lebih tepat tentang 'aurah, pakaian dan sejenisnya. Ketika berbicaratentang perspektif teori, bahasannya perlu terkait langsung dengan pokok bahasan, yang harus diurai dan mendetail karena ini yang akan dijadikan kunci masuk dalam melakukan penelitian.
2. Metode penelitian harap dilihat dan dikaji ulang. Induktif atau deduktif bukan teknik analisis, tapi lebih bersifat logika yang belum aplikatif. Analisis bahasan harus aplikatif, semisal analisis wacana, analisis struktural, dan sebagainya.