m. arif am
URGENSITAS RITUAL DI PESANTREN DALAM  ERA GLOBALISASI
Oleh : Drs. Mohammad Arif AM, M.A. *)



A.Pendahuluan
Pesantren merupakan sebuah institusi yang sejak dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ritual yang diajarkan oleh para Kyai-nya. Bermacam-macam ritual Islam selalu dan terus dilestarikan dari generasi ke generasi dalam pesantren. Di samping sebagai kegiatan rutin (punya nilai istiqomah), juga merupakan usaha untuk menjaga nilai bahkan amal jariyah dan ilmu-ilmu Islam yang telah ditanam para Kyai, juga   merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap generasi yang lebih dulu mengamalkan ritual amalan di pesantren tersebut. Sehingga ritual yang dilakukan di institusi pesantren sudah menjadi tradisi atau adat para santri.
Adat/ tradisi adalah wujud gagasan kebudayaan  yang terdiri dari nilai-nilai budaya , norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu system yaitu system budaya (Koentjaraningrat, et.al, 1984:2). Ritual merupakan rangkaian  peristiwa yang relative tetap ; sebagai akibatnya ritual tidak bersifat individual  dan juga tidak ad hoc (Kuper, 2000:915). Ritual tidak dilegitimasi  dalam kerangka instrumentalitas langsung; ritual memberikan makna melalui simbol-simbol , didefinifikan oleh seorang antopolog sebagai unit terkecil dari ritual  (Kuper, 2000:916).
In religion, a ritual can comprise the prescribed outward forms of performing the cultus, or cult, of a particular observation within a religion or religious denomination. Although ritual is often used in context with worship performed in a church, the actual relationship between any religion's doctrine and its ritual(s) can vary considerably from organized religion to non-institutionalized spirituality, such as ayahuasca shamanism as practiced by the Urarina of the upper Amazon. Rituals often have a close connection with reverence, thus a ritual in many cases expresses reverence for a deity or idealized state of humanity ( http://en.wikipedia.org/wiki/Ritual  ).
 Ritus sebagai sarana untuk memancarkan lambang-lambang, nilai-nilai, pemahaman diri, dan budaya, ritus tersebut merekonstruksi dan memperbaharui hidup.  Oleh karena itu, ritus-ritus ini memainkan peran penting dalam kerangka agama-budaya komunitas (Esposito, 2001:170).  Dalam komunitas Pesantren ritual sebuah amalan berfungsi sebagai terapi religi. Memberikan solusi terhadap problem kehidupan masyarakat, baik bagi masyarakat pesantren maupun masyarakat secara umum. Terapi religi tersebut meliputi obat bagi orang yang menderita sakit fisik maupun sakit psikis.. Memberi perlindungan bagi masyarakat yang terancam berbagai bahaya. Juga memberikan pertolongan kepada masyarakat yang menghadapi permasalahan dan kesulitan dalam kehidupannya, masalah bisnis, masalah politik bahkan pendidikan.
_________________
*)  Tulisan ini adalah kajian penelitian dari hasil Pelatihan Nasional tentang Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan Tingkat Lanjutan, pada tgl 8 September s/d 2 Desember 2008, kerjasama antara Direktorat Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan Sekolah Pascasarjana UGM Iogjakarta
Penulis adalah dosen DPK STAIN Kediri pada STAI Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono Nganjuk.



Suatu contoh ketika seseorang terserang penyakit sudah komplikasi, rezim kedokteran menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak bisa sembuh. Namun melalui terapi religi dengan melaksanakan ritual amalan tertentu, ternyata penyakitnya bisa sembuh. Masih banyak kasus-kasus serupa yang bisa sembuh dengan terapi religi tersebut. Ritual dalam Islam adalah produk pertemuan antara pandangan Dunia Islam dan budaya di dalam serta di luar Arab. Membedakan unsur-unsur kesamaan dan keragaman dalam ritual-ritual ini menegaskan perbedaan antara Islam normative dan Islam rakyat, serta mencerminkan keragaman budaya di dunia Muslim. Sebagai system lambang dan tindakan, upacara Islam memainkan peranan penting dalam  meneguhkan kembali pandangan Islam, baik pada dimensi imajinasi maupun pengalaman hidup, pemikiran dan budaya.
Keyakinan dan niat lillahi ta’ala adalah unsur utama dalam pelaksanaan ritual terapi religi di Pesantren.  Bagi santri sudah tertanam niat yang kuat, bahwa belajar di pesantren bukan untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, belajar merupakan kewajiban setiap muslim dan sebagai pengabdian kepada Alloh (Arif AM, 2008:36 ; Dhofier, 1994 : 21) ).Seakan tidak pernah terpengaruh oleh hiruk pikuknya perubahan zaman yang serba cepat. Hantaman dan benturan era globalisasi juga tidak mampu  menggeser sedikitpun nilai dan aktivitas terapi religi dalam ritual para santri. Padahal  para santri juga membutuhkan masa depan yang menjanjikan dalam pendidikan dan ekonomi agar mampu menjadi bekal dalam kehidupannnya. Seakan para santri tidak pernah mengkawatirkan jaminan masa depannya sendiri. Semuanya disandarkan pada kemurnian niat untuk mengamalkan amalan ritual di Pesantren.              
Terapi religi dalam amalan di Pesantren pada dasarnya seperti ilmu ibadah atau amalan ritual dalam Islam yang lain, yang bertujuan menjadikan manusia bisa mendekatkan diri pada Tuhannya, mendapat ridho dari Alloh, ma’rifat dan dicintai oleh Allah  s w t.  Dengan aktivitas-aktivitas ritual tersebut, amalan di pesantren berfungsi sebagai terapi religi bagi para pengamlanya.  Hal ini merupakan keyakinan yang ditanam di hati para santri sampai saat sekarang. Yang tidak bisa digoncang oleh fenomena globalisasi dalam bentuk dan cara apapun. Mengapa terapi religi dalam ritual amalan di Pesantren merupakan sesuatu yang urgen bagi para santri dan institusi Pesantren.  Dari uraian di atas, dapat dikaji melalui 3 pertanyaan sebagai berikut :  . 
Mengapa tradisi terapi religi dalam ritual amalan di pesantren menjadi aktivitas yang urgen bagi santri di Pesantren .Di bagian ke dua tulisan ini akan menfokuskan pada  makna yang terkandung dalam ritual amalan asmaul haq dan membahas mengenai manfaat  ritual  amalan di Pesantren sebagai terapi religi bagi santri di Pesantren yang sering memunculkan berbagai pertanyaan dari masyarakat. Bagian ke tiga dari tulisan ini juga akan mengupas permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana respon dan dampak terapi religi dalam ritual amalan  di pesantren bagi masyarakat secara luas .
Ke tiga masalah di atas menjadi pokok pembahasan dalam kajian ini. Pertanyaan pertama sampai pertanyaan ketiga merupakan usaha untuk menjawab tradisi ritual terapi religi yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan orang yang berafiliasi  ke pesantren, khususnya terapi religi dalam ritual amalan di pesantren. Juga apa saja yang dilakukan para santri di sebuah pesantren, termasuk kebanyakan orang yang berada di luar pesantren selalu mempertanyakan tentang terapi religi dalam ritual amalan di Pesantren.  
       
B. Tradisi Ritual Santri  Dalam  Mengamalkan Terapi Religi di  Pesantren.
Tradisi merupakan wujud gagasan kebudayaan  yang terdiri atas nilai-nilai budaya , norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu system yaitu system budaya (Koentjaraningrat, et.al, 1984:2).Pada masa modern, sumbangan bagi pemikirian dan sastra Islam berfokus pada peran Islam dalam ritus-ritus.  Meskipun mengulang tema utama bahwa tujuan kehidupan Muslim adalah penyerahan dan bersyukur kepada Allah, mereka menggambarkan ketegangan antara tradisi dan modernitas di dunia Islam. Peran ritus siklus hidup Islam yang bervariasi menurut budaya dalam membentuk pemikiran, dan budaya Muslim, juga menjadi tema dalam berbagai novel dan film yang diproduksi di dunia Muslim.  Ali Syari’ati, seorang pemikir Islam modern, membahas tema ini dalam wacana filsafatnya tentang antropologi Islam. Bagi Syari’ati, melewati berbagai tahap kehidupan melibatkan perjuangan dialektis antara al-ruh (ruh/ nafas Alah) , yang telah ditiupkan oleh Allah ke dalam semua manusia, dan turab, (debu) atau shalshal (tanah liat), unsur fisik yang membentuk tubuh manusia. Menurutnya, keselamatan terletak pada kemenangan dari persaingan antara  komponen spiritual dan material yang membentuk kepribadian manusia, disaksikan dalam penyerahan diri dan syukur kepada Allah, yang diungkapkan  secara simbolis dalam berbagai tahap daur kehidupan (Esposito, 2001:173).
A ritual may be performed on specific occasions, or at the discretion of individuals or communities. It may be performed by a single individual, by a group, or by the entire community; in arbitrary places, or in places especially reserved for it; either in public, in private, or before specific people. A ritual may be restricted to a certain subset of the community, and may enable or underscore the passage between religious or social states  (http://en.wikipedia.org/wiki/Ritual).
Nabi Muhammad secara selektif mengadaptasikan beberapa ritus Arab masa pra_Islam  untuk disesuaikan dengan keyakinan utama Islam. Dengan menyebarnya Islam, ritus yang sudah diislamkan memainkan peran menentukan dalam membentuk kembali ritus-ritus non Arab dari komunitas yang baru memeluk Islam di seluruh dunia. Islam, seperti semua agama, menangani segala masalah berkenaan dengan dimensi keberadaan kehidupan.  Al-Qur’an memandang tujuan hidup sebagai ibadah melayani Allah melalui penyerahan diri dan bersyukur.  Oleh karena itu upacara dalam Islam merupakan tindakan yang melambangkan keyakinan ini pada semua tahap dan dalam berbagai dimensi kehidupan . Pada umumnya, dalam kerangka pengalaman agamis, ritus sering dipandang sebagai medium untuk meningkatkan spiritualitas Islam dan mengolah kemurnian niat untuk Allah semata (Esposito, 2001:171).  Aktivitas terapi religi dalam ritual amalan tertentu di Pesantren sangat memperhatikan dan mengutamakan pada nilai kemurnian niat untuk Allah atau biasa dengan sebutan  lillahi ta’ala. Kemurnian niat lillahi ta’ala akan mempengaruhi hasil terapi religi dalam ritual amalan yang dilakukan oleh para santri di pesantren tersebut. Bagi santri yang  memposisikan niat lilahi ta’ala kurang bersih bahkan ragu-ragu akan berdampak negative pada hasil ritual amalan yang dilakukan.
Statemen di atas menjelaskan bahwa dalam Islam ada pengakuan dan kajian yang terbuka dan obyektif terhadap ritus-ritus yang bernilai identik dengan symbol ke Islaman yang sudah melakukan proses sinkritisme antara Islam dan budaya local di masing –masing Negara yang memeluk Islam. Termasuk di negara Indonesia yang  diwakili oleh potret kultur Islam pesantren. Ritual-ritual di pesantren tetap hidup dalam dunianya, tetap tumbuh dan dilestarikan oleh para santri  serta oleh semua pengamal amalan-amalan tertentu, yang di dalamnya termasuk para pengamal amalan asmaul haq. Para santri berkeyakinan bahwa memelihara ritus Islam merupakan kewajiban mereka. Apalagi ritual tersebut merupakan amalan yang diajarkan oleh para Kyai di Pesantren.  Melestarikan ritus berarti melestarikan ajaran dan amalan Kyai. Demikian juga dengan ritual dalam amalan di Pesantren, mempunyai fungsi yang penting, terutama bagi para santri. Karena orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain dia akan mendapatkan kebaikan dari Alloh seperti kebaikan yang didapat oleh orang tersebut.
Tradisi ritual keagamaan yang dilakukan para santri mencakup perilaku pemujaan, kepatuhan, ketaatan dalam peribadatan untuk menunjukan komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya, sehingga orang akan selalu melaksanakan kewajiban agama sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama tersebut (Akyas, 2008:98 ; Ancok dan Suroso, 2004). Ritual selalu mengingatkan manusia tentang eksistensi mereka dan hubungan mereka dengan lingkungan karena melalui ritual warga suatu masyarakat dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol  yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan social yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari ( Abdullah, 2002 : 3; Geertz, 1983:XI-XII). Sehingga tardisi ritual santri merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan para santri di Pesantren untuk melakukan tanggung jawabnya dalam  menunjukkan komitmen mereka pada ritualnya.  Di dalam institusi pesantren, tradisi merupakan konsep yang paling mendasar dari konservativisme, yaitu mempertahankan nilai-nilai pesantren secara utuh (Arif AM, 2008:36 ; Giddens, 2001:40).
Oleh karenanya, semua agama (hanya) menjadi satu langkah dalam perjalanan panjang seorang individu yang berada dalam tradisi religius tertentu sebaiknya dipahami sebagai seorang pengembara. Karena seseorang yang lazim kita pahami sebagai pemeluk agama tertentu sebenarnya hanyalah  seorang pencari  (kebenaran agama). Melalui persepsi masing-masning orang dalam teradisinya sebagai seorang pencari inilah sehingga kita mampu melihat  nilai setiap tradisi dalam kekhasan dan keunikannya.      
Problem di dalam tradisi keagamaan adalah problem symbol. Ia bukanlah tidak rasional sama sekali. Ia merupakan ungkapan ambigu dan tidak mengizinkan penilaian rasional yang jelas lantaran sebuah symbol memiliki arti lebih dari satu. Simbol merupakan alat untuk mengkomunikasikan seperangkat makna yagn berlipat-lipat, mencakup sebuah unitas dan diferensiasi (pembedaan) tingkat-tingkat pengetahuan. Sekalipun kita mendapatkan tiga atau empat makna dari sebuah symbol dalam bentuk pernyataan-pernyataan harfiyah, kita belum benar-benar mengungkapkan misterinya. Karena itu, yang tidak rasional dari sebuah symbol sesunguhnya tidak ada. Rasionalitas arau irrasionalitas terletak di luar symbol manakala ia diterjemahkan ke dalam pernyataan harfiyah, dan dalan hal ini tidak ada kaitannya dengan symbol itu sendiri. Kebingungan muncul ketika symbol disatukan dengan paradoks. Dan ketika dikombinasikan maka symbol mengisaratkan bahwa realitas yang dibicarakan bersifat transendental dan berlipat-lipat (Askari, 2003:178).
    
C. Manfaat Terapi Religi dalam Ritual Amalan di  Pesantren.
Ritus-ritus dalam amalan di Pesantren tersebut dilakukan karena memang mengandung berbagai manfaat baik secara social maupun secara spiritual atau supra natural. Adapun manfaat-manfaat tersebut meliputi :
   Di antara manfaat yang didapat oleh para santri dan pengamal amalan di Pesantren adalah nilai spiritual. Manfaat secara spiritual hanya bisa dirasakan oleh para santri dan pengamal amalan asmaul haq sendiri. Masing-masing  santri dan pengamalnya tidak sama dalam merasakan manfaat nilai spiritual tersebut. Hanya secara umum dapat dirasakan tanda-tanda manfaat dari ritual amalan yang dilakukan secara rutin dan niat hanya karena Alloh. Tingkat rutinitas atau istiqomah dan kemurnian niat karena Alloh akan berpengaruh pada tingkat spiritualitas seseorang. Hal tersebut akan menentukan tingkat spiritualitas santri dan dapat diketahui berdasarkan indikasi spiritualitas.  Yaitu berupa kepekaan hati terhadap kemungkinan yang akan terjadi  terhadap  diri para pengamalnya. Sehingga dapat mempersiapkan cara dan jalan keluar yang harus dilakukan sebaik mungkin.       
Bagi santri akan merasakan tingkat spiritualitasnya masing-masing. Tingkat spiritualitas merupakan sesuatu yang penting untuk mengetahui level yang sudah dicapai oleh setiap santri dan pengamal asmaul haq. Tingkat spiritualitas tersebut dapat dicapai dengan cara memenuhi seluruh ketentuan dalam amalan. Pencarian spiritual tidaklah secara eksklusif dapat diidentikkan dengan keyakinan dan praktek masing-masing agama. Ketentuan-ketentuan dalam tiap agama tampak lebih sebagai tanda-tanda dimensi spiritual daripada satu-satunya model kesadaran terhadap dimensi  tersebut. Setiap agama adalah sesuatu langkah dalam perjalanan panjang.  Individu dalam tiap agama harus dipahami sebagai seorang pencari. Setiap keyakinan mungkin mempresentasikan perkiraan dalam batas-batas ekspresi dan perkembangan historiesnya menuju kebenaran tertinggi. Orang yang lazim kita pandang sebagai seorang beriman sesungguhnya harus dipandang sebagai seorang pencari (a seeker).
Perspektif pencarian tidak hanya memberikan sebuah makna baru bagi kata-kata lama, tetapi juga menghasilkan makna kegelisahan yang dasyat yang menandai momen dimulainya perjalanan agung. Pencarian itu sendiri menandakan bahwa keadaan gelisah dan haus yang mendalam akan pengetahuan, telah menggantikan posisi keyakinan-keyakinan yang diterima secara tidak kritis, dipelajari secara tidak sadaratau secara kolektif di indoktrinasikan (Askari, 2003:175). Persoalan penting bagi pencarian spiritual di dalam dan di luar agama adalah menjadikan ungkapan-ungkapan tersebut bukan sebagai ungkapan-ungkapan keyakinan melainkan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian. Ungkapan-ungkapan tersebut bukan tanda-tanda kedatangan, melainkan tanda-tanda keberangkatan (Askari, 2003:179).         
Religiusitas atau keberagamaan merupakan tingkat pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan seseorang atas ajaran agama yang diyakininya, atau suatu sikap penyerahan diri kepada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya yagn diwujudkan dalam aktivitas dan perilaku sehari-hari yang meliputi lima aspek, yaitu keyakinan agama (ideologis), peribadatan atau ritual agama (ritualistic), pengetahuan agama (education), penghayatan (eksperensial), dan akibat pengamalan agama (konsekuensial). Pengetahuan agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama meliputi berbagai dimensi.  Pengalaman agama adalah perasaan yang dialami oleh orang beragama, seperti rasa tenang, tenteram, bahagiam syukur, patuh, taat,  takut, menyesal, bertobat dan lain-lain. Pengmalan agama merupakan konsekuensi dari keempat dimensi yakni aktualisasi dari doktrin agama yang dihayat ioleh seseorang yang berupa sikap, ucapan, dan perilaku atau tindakan, Dimensi konsekuensi ini mestinya merupakan kulminasi dari dimensi lain.  Kenyataannyadimensi itu tidak selalu lengkap ada pada seseorang, sedangkan sikap, ucapan dan tindakan seseorang tidak selalu atas dorongan ajaran agama (Akyas, 2008: 87; Ancok dan Suroso, 1994; Robert, 2002; Smith, 2004; Effendi, 2004).
Manfaat secara social religius dari ritual ini adalah menjadikan santri sebagai  manusia yang melaksanakan perintah agama Islam  secara kaffah syar’iyah. Yaitu memenuhi  seluruh syari;’at agama Islam.  Tidak merasa lebih dibanding masyarakat lain. Tudak  merasa sombong terhadap sesame manusia. Mempunyai tolerasni yang semakin tinggi terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Berakhlakul karimah terhadap sesama manusia,  rendah hati dan punya keyakinan yang tinggi terhadap semua takdir Alloh.  Di sisi lain bagi kaum muslim yang mengamalkan ritual  amalan asmaul haq  mendapat jalan keluar yang terbaik setiap ada problem yang muncul dalam hidupnya.
    
D. Dampak Terapi Religi di Pesantren Bagi Masyarakat.
Teori gerakan social menaruh perhatian pada pembentukan dan deseminasi system-sistem kepercayaan dalam jangkauan yang lebih luas (Mirsel, 2004:120).  Di dalam masyarakat secara umum  akan memberikan respon atau memunculkan respon terhadap isu, informasi, dan setiap permasalahan yang muncul dalam fenomena social. Fenomena sosial tersebut akan menimbulkan juga dampak terhadap masyarakat secara luas. 
Setiap orang atau kelompok orang memerlukan strategi dalam melakukan suatu aktivitas atau pemecahan masalah yang dihadapi. Strategi ini menjadi satu piranti pendukung yang ikut menentukan dalam memncapai tujuan yang telah direncanakan. Tanpa memiliki strategi seseorang atau sekelompok orang akan sulit dalam pemecahan masalah atau pencapaian tujuan. Penggunan strategi atau metode bukanlah secara sembarangan atau tanpa pertimbangan tertentu, melainkan harus mempertimbangkan efektivitas atau kesuaian baik dengan kemampuan yang dan tujuan yana akan dicapai serta dengan permasalahan yang dihadapi, kalau tidak akan bias hasilnya. Dengan kata lain, tidak ada suatu pembakuan dalam penggunaan strategi atau cara, melainkan penggunaan strategi atau metode harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (Rosichin, 2008:304). Agama dipraktekkan sebagai bagian dari pengendalian social dan identifikasi diri untuk pemosisian individu, kelompok, dan institusi dalam serangkaian transaksi social yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbo; budaya telah menajdi alat bagi penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari system social global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam  (Abdullah, 2006 : 9).
Dampak dari mengamalkan ritual terapi religi amalan asmaul hak bagi msayarakt yang muslim adalah munculnya ketentraman dan kesabaran dalam hari mereka. Juga sikap berani dalam menegakkan kebenaran. Sehingga mereka yang sudah biasa melaksanakan ibadah sebagai seorang muslim, semakin merasakan kedekatannya jepada Alloh swt


E.Penutup
Pesantren ternyata menjadi benteng terakhir untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan umat manusia, ketika teknologi tidak lagi mampu memberikan jalan keluar yang terbaik.  Terapi religi dalam amalan di Pesantren membuka dialog antara situasi dunia yang telah maju dalam teknologi dalam semua unsure kehidupan manusia dengan kondisi riil ketidak mampuan manusia menghindari keterbatasan, dengan memberikan alternative problem solving kepada masyarakat, ketika pendekatan teknologi secara empiris mengalami titik klimaks.  Sehingga ralitas tersebut menunjukkan bahwa dalam keondisi sulit, manusia sangat membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan solusi dan jawaban intuitif yang ditunggu sebagai juru selamat bagi seluruh manusia.  
Terapi religi dalam ritual amalan di Pesantren pada dasarnya bertujuan menjadikan manusia bisa mendekatkan diri pada Tuhannya, mendapat ridho dari Alloh, ma’rifat dan dicintai oleh Allah  swt.
Dalam tingkat keberagamaan muncul kelompok orang-orang religius yaitu orang yang memang sudah mampu dan biasa melakukan ibadah menurut ketentuan agama Islam. Sedangkan  kelompok kedua adalah orang-orang awam, yaitu orang-orang yang sebelumnya tidak pernah beribadah kepada Allah, seperti sholat, puasa,dan ibadah yang lain.  Dalam mengamalkan ritual amalan di Pesantren tidak ada perbedaan syarat antara orang–orang yang masuk kelompok religius dan orang-orang yang disebut awam.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2002. Study Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Abdullah, Irwan. 2002. Simbol. Makna dan Pandangan Hidup Jawa, Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
_____________ .2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Akyas, M. 2008. Eksistensi Masjid dan Elevasi Religiusitas Masyarakat Bantaran Pekalongan, dalam Irwan Abdullah, et.al, (Ed), 2008.  Dialektika Teks Suci Agama Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta : Sekolah Pascasarja UGM bekerjasama Pustaka Pelajar.
Ancok, Djamaluddin dan Suroso. 1994. Psikologi Islam : Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta;Pustaka Pelajar.
Arif AM, M. 2008. Pesantren Sebagai Pusat Deseminasi  Jama’ah Tabligh, Studi Kasus di Pesantren Al Fattah Temboro Magetan Jawa Timur, dalam Irwan Abdullah, et.al (Ed). 2008. Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM  bekerja sama Pustaka Pelajar.
Askari, Hasan. 2003. Lintas Iman Dialog Spiritual. Yogyakarta : LKiS.
Dhofier, Zamaksyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES. 
Efendi, Djohan. 2004. Spiritual Baru, Agama & Aspirasi Rakyat. Yogyakarta : Dian Interfidei.
Esposito, John L. 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Oxford University Press.
Giddens, Anthony. 2001. Run Away World: Hoe Globalization is Reshaping Our Lives. Jakarta : Gramedia.
Habiba, A  Fauzi. 2000. Pedoman Amalan Asmaul Haq. Jombang : Yayasan Asmaul Haq Pusat. 
Koentjaraningrat, dkk. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan  Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Lincoln, Denzin. 2000. Handbook Of Qualitative Research. Second Edition. USA : Sage Publication. Inc.
Mansur, Rosichin. 2008. Agama Subsisten Orang-orang Pinggiran  : Tukang Ojek Anak Sekolah di Perum Trangkil, Semarang, dalam Irwan Abdullah, et.al (Ed). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM kerja sama Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Robert, Tyler. 2002. Spiritual Posreligius : Explorssdi Hermeneuties TransfigursiAgama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta : Qolam.
Smith, Wilfred C. 2004. Memburu Makna Agama. Bandung :Mizan.
http://en.wikipedia.org/wiki/Ritual
0 Responses

Posting Komentar