m. arif am

TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh : Drs. M. ARIF AM, M.A.
Tujuan Pendidikan Nasional
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia). Tujuan universitas di Eropah adalah mencari kebenaran. Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara; pendidikan dirancang adalah untuk kepentingan negara.[1]  UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".[2] Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."[3]
Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".[4]
Bila dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."[5] Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi."[6]
Bila dipelajari, secara konseptual tujuan pendidikan nasional masih sesuai dengan substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan pendidikan ini dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran? Jawabannya masih diragukan.

Manusia Sebagai Fokus Pendidikan

Secara umum, alam menjadi titik sentral pendidikan; alam menjadi tujuan. Manusia menjadi "budak" dari alam; ilmu, teknologi dan dan hal-hal yang bersifat pragmatis termasuk uang, mengambil tempat paling penting. Pendidikan yang berpusat pada manusia semakin tersingkir. Ini tidak lepas dari sosok yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan, John Dewey. Ia tokoh pendidikan Amerika Serikat pada awal dan pertengahan abad ke-20 dan menggulirkan konsep pragmatisme. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah penyesuaian pribadi yang bertumbuh terhadap lingkungannya (education is " adjusment of the growing personality to its environment). Ia membuat lingkungan menjadi pusat pendidikan.[7] Bagi Dewey, manusia itu harus disesuaikan terhadap lingkungannya tanpa menyebut defenisi "lingkungan" (environment) secara jelas."

Manusia sebagai makhluk PAEDAGOGIK
Mahluk paedagogik ialah mahluq Alloh yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Mahluq itu adalah manusia. Sehingga mampu menjadi kholifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Alloh berupa bentuk yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk yang mulia, pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain dan membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia dan sekaligus berarti bahwa manusia adalah mahluk paedagogik.[8]
Para elit pendidikan negeri ini menyelipkan pikiran John Dewey dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lebih jelas dalam pasal 15. Pada pasal ini tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.[9] Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, falsafah pragmatisme masih kental sekalipun dalam undang-undang itu tidak disebutkan secara vulgar.[10] Namun dalam praktek sehari-hari,pikiran John Dewey-lah yang dominan. Manusia adalah mahluk yang paling penting dari seluruh yang dicipta; manusia seharusnya menjadi fokus pendidikan. Ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bahkan dalam pandangan agama-agama dari Timur, yang dianggap sebagi agama monoteisme, manusia merupakan sosok yang sentral dalam penciptaan. Segala sesuatu dicipta untuk manusia. Tuhan mencipta terang, cakrawala, laut, darat, semua jenis tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, semua mahluk hidup di laut seperti ikan, dan di darat, dan segala jenis burung di udara. Dan terakhir, Ia mencipta manusia.
Manusia merupakan mahkota dari seluruh ciptaan. Ia menjadi pusat dari alam semesta. Segala sesuatu sudah disediakan sebelum manusia eksis di bumi. Bahkan taman yang indah, Taman Firdaus pun, disiapkan untuk mereka sehingga pasangan suami-isteri itu tidak perlu bersusah payah mencari kebutuhan hidup dan tempatnya. Bukan hanya sebagai mahkota dari seluruh ciptaan, manusia diberi tugas untuk menguasai seluruh ciptaan- mulai dari ikan-ikan yang ada di laut dan burung-burung di udara, dan semua mahluk yang bergerak di bumi. Seluruh alam semesta ada dalam kekuasaan manusia. Sangat ironis melihat dunia pendidikan kita. Manusia bukan sosok yang paling penting dalam dunia pendidikan. Manusia bukan fokus pendidikan, tetapi yang menjadi fokusnya adalah uang, keuntungan, kurikulum dan berbagai hal lainnya yang termasuk dalam kategori alam

Menilai Tinggi Kecerdasan Melalui Pendidikan

Ahli pendidikan Inggris, Alfred North Whitehead, mengatakan bahwa "di tengah-tengah suasana kehidupan modern, hukumnya mutlak. Suatu bangsa yang tidak menilai tinggi kecerdasan yang terlatih dinasibkan tenggelam dalam sejarah.[11] Baik segala kepahlawananya, baik semua kelincahannya, semua kemenangan yang telah dicapai di darat ataupun di laut, akan mampu menolak balik dorongan nasib. Hari ini bangsa itu mungkin bisa bertahan. Besok, ilmu pengetahuan akan maju lagi satu langkah. Bagi suatu bangsa yang tidak berpendidikan, tidak ada suatu mahkamah pun ke mana dia dapat memajukan pengaduan atas hukuman yang telah dijatuhkan kepada bangsa yang tidak berpendidikan."
Yukichi Fukuzawa (1835-1904) dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (suatu Imbauan untuk Belajar) menulis, "Tuhan tidak menakdirkan seorang pada tempat di atas atau di bawah seseorang yang lain. Ini berarti bahwa kalau mereka dilahirkan, mereka sama derajatnya. Namun, kalau kita melayangkan pandangan atas suasana manusia yang sebenarnya, kita jumpai mereka yang pandai dan yang bodoh, mereka yang berderajat rendah. Suasana mereka sangat berbeda seakan-akan antara awan dan lumpur. Sebab-sebab adanya suasana demikian itu jelas sekali. Kalau seseorang tidak menuntut ilmu, ia akan tetap dalam kegelapan, dan seseorang yang berada dalam kegelapan adalah orang bodoh. Oleh sebab itu, perbedaan antara pandai dan bodoh, pada hakekatnya, ditetapkan oleh pendidikan."[12]
Pentingnya menilai tinggi kecerdasan, para pendiri republik ini telah memasukkan topik pendidikan dalam konstitusi. UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."[13] Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."[14] Bahkan dalam konsititusi yang telah diamendemen telah dicantumkan Sekilas negeri ini menilai tinggi kecerdasan. Namun, apa yang telah dihasilkan dunia pendidikan kita? Setelah lebih 64 tahun negeri ini merdeka, khususnya pada dua dekade terakhir, dunia pendidikan kita hanya menghasilkan siswa tauran, mahasiwa yang menjiplak, pejabat yang koruptor, warga yang masih percaya kepada dukun, pekerja yang mau berpenghasilan tinggi tetapi tidak mau bekerja keras, penduduk yang mudah emosi, dan berbagai karakter-karakter buruk lainnya. Banyak berita-berita yang berkaitan dengan moral disajikan di publik bahkan sampai ada yang berani melakukan hubungan seks di luar nikah dan disebarkan ke publik.
Jelaslah bahwa pendidikan bukanlah hanya semata-mata soal anggaran. Pendidikan bukan hanya semata-mata melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh para elit politik dan pemerintah lewat Undang-Undang Pendidikan dan kebijakan-kebijakan pendidikan. Pendidikan bukan hanya semata-mata melaksanakan kurikulum. Jauh lebih penting dari itu adalah falsafah pendidikan; apa falsafah terhadap murid, kurikulum pendidikan dan guru. Dan yang tidak bisa diabaikan juga adalah bagaimana falsafah itu dijabarkan dalam tataran praktis.
Oleh karena begitu pentingnya menilai tinggi kecerdasan, pada halaman ini disajikan topik seputar pendidikan. Kita akan lihat falsafah pendidikan, tujuan pendidikan, relasi antara pendidikan dan negara, peran pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan dan lewat jalur apa pendidikan yang baik diperjuangkan. Minimum 20 % dari anggaran belanja negara disisihkan untuk pendidikan.

Tanggung Jawab dan Peran Orang Tua dalam Pendidikan

Kisruhnya pendidikan di republik ini berkaitan dengan lemahnya peranan orang tua dan masyarakat. Pendidikan diserahkan hampir sepenuhnya kepada pemerintah.Minim perhatian terhadap apa yang terjadi di seputar pendidikan baik itu guru, kurikulum dan metode pengajaran. Tidak heran pendidikan di republik ini menghasilkan manusia-manusia yang tidak sesuai dengan harapan. Peran orang tua dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tugas manusia secara umum. Dari sejarah dapat dilihat bahwa tugas pokok manusia tersimpan dalam kutipan berikut, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.[15]
Bila dipilah, tugas pertama manusia adalah beranak cucu dan bertambah banyak. Manusia diberi mandat untuk mempunyai keturunan yang berkualitas; baik rohani, intelek, emosi, kehendak dan phisik yang sehat. Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk menghasilkan manusia yang seutuhnya, yaitu manusia yang mirip dengan Penciptanya. Hati, pikiran, emosi, kehendak dan tindakannya seirama dengan hati, pikiran, emosi, kehendak dan tindakan Penciptanya.
Pendidikan di Rumah
    Yaitu: Pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarga yang masih dalam usia sekolah. Sesuai dengan kebijakan Wajar Dikdas usia itu antara 6 sampai 17 tahun.Pendidikan ini diselenggarakan atas dasar :
·         Menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran / falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga.
·         Menjaga anak-anak agar selamat dari pengaruh negative lingkungan
·         Menyelamatkan anak secara fisik dan mental dari kelompok sebayanya
·         Menghemat biaya pendidikan
·         Memberikan pendidikan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual.[16]
Tugas manusia yang kedua adalah memenuhi dan menaklukkan bumi dan menguasai yang ada di dalamnya. Ada hubungan yang tidak terpisahkan antara tugas yang pertama dan yang kedua. Dengan bertambahnya keturunan manusia yang "seutuhnya", diharapkan daerah-daerah yang kosong dapat dihuni, dikuasai, dan dipelihara. Ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi ada dalam kuasa mereka. Mereka harus merawat lingkungan di mana mereka hidup, memelihara tanah agar tetap baik dan subur, menjaga binatang agar tetap lestari. Dengan kata lain, manusia diberi kuasa untuk memelihara dan mengembangkan bumi dan segala isinya.[17]
Dalam kedua tugas itu sudah tersimpan esensi pendidikan. Peran orang tua sangat besar dalam mendidik anaknya dan merupakan hal yang alami. Seorang ibu yang melahirkan anak menjaga dan memeliharanya dengan baik. Ibu menyusui anaknya; orang tua memperkenalkan alam kepada anaknya: bunga di halaman rumah, burung dalam sangkar dan yang lain-lain. Mereka terus mendidik anaknya dengan sabar agar dapat mengucapkan kata, berbicara, makan dan berjalan sendiri. Mereka mengenalkan alam kepada anaknya dan memberikan contoh bagaimana melakukan tugas sehari-hari di rumah: mencuci piring, memasak, membersihkan rumah dan sebagainya. Bahkan sampai menginjak dewasa, orang tua masih terus mendidik anaknya agar menjadi anak yang mandiri dan matang, dan dapat menjalani hidupnya sendiri. Selain itu, orang tua memberikan nilai-nilai etis: apa yang baik dan yang tidak baik bagi masyarakat.[18]
Apa yang diberikan orang tua kepada putra-putrinya merupakan esensi dari pendidikan secara umum. Orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Orang tua mendidik anaknya tentang prinsip hidup; bagaimana anak seharusnya hidup; bagaimana anak berinteraksi kepada Penciptanya, sesaama manusia dan alam. Meminjam istilah para filosof, orang tua mengajarkan kebenaran kepada putra-putrinya. Apakah peran orang tua masih dominan dalam pendidikan anak-anaknya sekarang? Tugas itu, bila tidak semuanya, hampir semua sudah diambil alih oleh pemerintah. Hak mendidik anak yang seharusnya merupakan tanggung jawab orang tua, sekarang ada di tangan pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan. Pemerintah menentukan apa yang akan diajarkan kepada siswa dan menentukan siapa yang mendidik mereka.
Menurut John Naisbitt ada 10 kecenderungan besar dalam masyarakat masa depan diantara megatrend itu yang mempunyai kaitan langsung dengan pendidikan yaitu :
§  Perkembangan dari masyarakat industri maju ke masyarakat informasi
§  Digunakan teknologi tinggi dengan sentuhan yang tinggi
§  Digantikan perencanaan jangka pendek dengan perencanaan jangka panjang
§  Perkembangan dari sentralisasi ke desentralisasi
§  Perkembangan dari demokrasi representatif ke demokrasi partisipatif
§  Perkembangan dari pola hierarki ke pola jaringan
§  Perkembangan dari pilihan antara dua kemungkinan kepada pilihan majemuk.[19]
Peran pemerintah yang begitu besar mengundang beberapa pertanyaan. Apakah ada garansi bahwa guru mendidik murid seperti orang tua mendidik anaknya? Apakah ada garansi bahwa materi pendidikan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tua? Sejauh mana seharusnya pemerintah menentukan kebijakan pendidikan? Namun, masyarakat tidak begitu perduli dengan hal ini. Kalaupun ada yang peduli, isu-isu yang mereka ajukan tidak diabaikan. Dituntut sebuah kesadaran dan peran orang tua dan masyarakat untuk memperjuangkan pendidikan yang baik. Masih diperlukan banyak pemikiran bagaimana pendidikan yang menghasilkan anak didik yang taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan yang berkarakter.

DAFTAR RUJUKAN

http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
Arif AM, M. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Kertosono:IRReS kerjasama dengan STAIM Press. Arif AM, M. 2010. Teknologi Pendidikan. Kediri:STAIN Kediri Press.
UUD 1945 (versi Amendemen),
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Tentang Sisdiknas  Surabaya:Wacana Intelektual, cet. I th 2009



[1] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html
[2] UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3
[3] UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3
[4] Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Tentang Sisdiknas  Pasal 3, Surabaya:Wacana Intelektual, cet. I th 2009, hlm, 339.
[5] Undang-Undang No. 2/1989, pasal  4.
[6] Undang-Undang No. 2/1989, pasal 15.
[7] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html
[8] M. Arif AM. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Kertosono:IRReS kerjasama dengan STAIM Press, hlm. 12.
[9] Undang-Undang No. 2/1989, pasal 15.
[10] Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Tentang Sisdiknas  Surabaya:Wacana Intelektual, cet. I th 2009, hlm, 338.
[11] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
[12] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
[13] UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3.
[14]  UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 5.
[15] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
[16] M. Arif AM. 2010. Teknologi Pendidikan. Kediri:STAIN Kediri Press. Hlm. 121.
[17] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
[18] http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html.
[19] M. Arif AM. 2010. Teknologi Pendidikan. Kediri:STAIN Kediri Press. Hlm. 154.
0 Responses

Posting Komentar