m. arif am
URGENSITAS RITUAL DI PESANTREN DALAM  ERA GLOBALISASI
Oleh : Drs. Mohammad Arif AM, M.A. *)



A.Pendahuluan
Pesantren merupakan sebuah institusi yang sejak dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ritual yang diajarkan oleh para Kyai-nya. Bermacam-macam ritual Islam selalu dan terus dilestarikan dari generasi ke generasi dalam pesantren. Di samping sebagai kegiatan rutin (punya nilai istiqomah), juga merupakan usaha untuk menjaga nilai bahkan amal jariyah dan ilmu-ilmu Islam yang telah ditanam para Kyai, juga   merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap generasi yang lebih dulu mengamalkan ritual amalan di pesantren tersebut. Sehingga ritual yang dilakukan di institusi pesantren sudah menjadi tradisi atau adat para santri.
m. arif am
Metode Penelitian
Penelitian merupakan usaha mencari hubungan antar variabel untuk menjelaskan suatu fenomena sosial. Di dalam menjelaskan fenomena tersebut, penelitian kualitatif selalu menekankan pada tiga aspek penting. Pertama, pada unit analisis mikro di mana satuan yang diteliti dibatasi sedemikian rupa sehingga lebih dapat dijelaskan secara terinci. Pembatasan ini memungkinkan penelitian mendapatkan hasil yang mendalam. Kedua, penelitianbersifat holistik dalam arti melihat obyek yang diteliti secara menyeluruh di dalam satu kesatuan. Suatu fenomena di sini dilihat sebagai suatu keseluruhan  (wholeness) daris ebuah proses sosial budaya.  Ketiga, penelitian kualitatif cenderung menekankan perbandingan sebagai salah satu kekuatan karena perbandingan ini juga yang membuat penelitian kualitatif dapat menekankan proses dan dapat menegaskan konteks sosial di mana suatu gejala itu muncul.
m. arif am
Manajemen dalam Pendidikan Bahasa Inggris
1. Hakekat Manajemen
Teori manajemen mempunyai peran (role) atau membantu menjelaskan perilaku organisasi yang berkaitan dengan motivasi, produktivitas dan kepuasan (satisfaction) (Fattah, 1999:11). Para manager bertanggung jawab agar sub unit organisasinya berfungsi sebagai satu kesatuan yang terintergrasi dalam mengejar tujuan dasarnya. Oleh karena itu, manajer tersebut harus memberi pedoman kepada pada bawahan, memastikan bahwa mereka termotivasi dan menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sejumlah kegiatan manajerial khususnya memperhatikan peran pemimpin, termasuk merekrut, melatih, mengarahkan, memberi pujian, memberi kritik, mempromosikan dan memberhentikan. Namun, peran pemimin menyerap semua kegiatan manajerial, bahkan yang mempunyai tujuan dasar yang lain (Yukl, 1994:24).
m. arif am
PONDOK PESANTREN SALAF DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Mohammad Arif AM


Pada era sekarang, terutama orang sepakat dengan menyebut era globalisasi informasi dan komunikasi. Di balik lajunya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahauan, ada isu yang berkembang dan tetap aktual yaitu sekitar Pondok Pesantren.

m. arif am
PONDOK PESANTREN SALAF DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Mohammad Arif AM


Pada era sekarang, terutama orang sepakat dengan menyebut era globalisasi informasi dan komunikasi. Di balik lajunya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahauan, ada isu yang berkembang dan tetap aktual yaitu sekitar Pondok Pesantren. Sebab secara historis institusi pesantren sangat menarik untuk dibahas dan dikaji. Pemikiran penulis di latar belakangi oleh kesan dan asumsi banyak ahli yang telah meneliti dan mengkaji dalam bidang perkembangan pesantren. Dalam satu sisi pesantren dikatakan lembaga yang tradisional. Namun di sisi lain pesantren adalah sebuah institusi yang punya peran dan fungsi serta sangat diharapkan oleh segenap lapisan masyarakat. Pesantren juga merupakan cagar moral dan akhlak bangsa dan agama secara menyeluruh. Pesantren banyak melahirkan pemimpin yang punya militansi yang tinggi dalam memperjuangkan nilai-nilai yang berorientasi pada kemaslahatan umat secara menyeluruh, tanpa didasari oleh sebuah tendensi tertentu.
Pondok pesantren merupakan bagian dari masyarakat secara makro. Yang berkaitan pula dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi pada era sekarang. Timbulnya perubahan sosial merupakan hasil ketidakseimbangan mikrososial yang terjadi secara permanen dan menyebabkan terjadinya suatu proses reaksi secara global dan berantai. Ketidakseimbangan ini sama sekali tidak bersifat sementara. Interaksi ini diartikan melalui penjumlahan ketidakseimbangan mikrososial yang permanen dan begitu “massa yang kritis” telah tercapai dan akan menghasilkan perubahan-perubahan makrososial. Pada realitasnya kita bisa mengakui kemampuan untuk berbalik (reversibilite), berhenti (stationnarite) untuk sementara waktu, namun seluruh fenomena yang tidak secara spontan dihasilkan dari suatu kecenderungan akibat kembalinya keseimbangan ini terkait dengan kondisi-kondisi interakasi yang kongkrit dan melalui hal ini terkait pula cara-cara penyesuaian ketidakseimbangan sosial.
Keputusan-keputusan kecil dengan demikian tidak mengandung sifat “tirani”. Karena terkait satu sama lain, keputusan ini mengarah pada ketidakseimbangan yang cukup penting dalam struktur global, sehingga perubahan bisa ada di mana-mana dan tidak dapat dihindari.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M, untuk menyebarkan Islam di Jawa. Selanjutnya orang yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pondok pesantren pertama kali di Kembang Kuning. Pesantren tersebut pada waktu itu hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairah dan Kiai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta Surabaya dan mendirikan pondok pesantren di sana. Akhirnya ia dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Kemudian muncul beberapa pondok pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putranya, seperti pondok pesantren Giri, oleh Sunan Giri, pondok pesantren Demak oleh Raden Patah, dan pondok Tuban oleh Sunan Bonang. Fungsi pondok pesantren pada awalnya hanya sebagai sarana Islamisasi yang memadukan tiga unsure, yaitu ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan Islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tahun 1416 H Raden Patah mendirikan Bhayangkari Islam (angkatan pelopor kebaikan) sebagai organisasi pendidikan dan pengajaran Islam untuk mengkader calon ulama.
Setelah kerajaan Islam berdiri di Jawa pada tahun 1500 M, Bhayangkari Islam disempurnakan dengan pembangunan tempat-tempat strategis yang memiliki sebuah masjid. Tempat-tempat ini menjadi sumber ilmu dan pusat pendidikan Islam seperti pondok pesantren. Cabang kebudayaan nasional waktu itu, seperti filsafat, kesenian, kesusilaan, ilmu pengetahuan dengan anasir-anasir pengajaran dan pendidikan Islam diajarkan di masjid.
Salah satu yang mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma. Karena paradigma mempengaruhi terbentuknya teori-teori perubahan sosial.
Menurut kaum fungsionalis , seluruh sistem sosial memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan keseimbangan internalnya. Hal tersebut terkait dengan empat alasan prinsip yaitu :
1. Keseluruhan sistem sosial adalah sebuah struktur yang elemen-elemen di dalamnya betul-betul terintegrasi.
2. Keseluruhan sistem sosial merupakan sebuah struktur yang stabil.
3. Setiap elemen dari sebuah sistem sosial memiliki fungsi dan kontribusi dalam mempertahankan sistem itu.
4. Fungsi keseluruhan sistem tersebut didasarkan pada konsensus para anggotanya berkaitan dengan nilai-nilai fundamental.

Berdasarkan empat tesis keseimbangan di atas, sebenarnya sangat sulit bagi kita untuk mengakui kemampuan eksistensi bagian-bagian yang menjadi pembentuk sebuah sistem sosial pada saat yang sama juga menjadi agen-agen transformasi. Bagi T. Parsons nilai-nilai yang diperdalam selama sosialisasi ini merupakan keseimbangan yang efektif dalam mengantisipasi tuntutan perubahan. Fungsi stabilitas normatif yang dihasilkannya menjelaskan fenomena-fenomena daya tahan terhadap perubahan yang seringkali ditemukan di semua masyarakat.
Sedangkan T. Parsons sendiri membedakan tiga kasus dalam konteks perubahan. Pertama, orang sampai pada sebuah keseimbangan baru tanpa termodifikasi sistemnya sendiri. Sistem ini terbentuk melalui fungsi-fungsi adaptasi dan integrasinya sehingga fungsi global bisa dipelihara, di sini kita membicarakan perubahan internal dalam keseimbangan. Jika perubahan ini kurang dapat respons dan jika gabungan dari stabilitas normatif terjadi secara total maka akan terjadi evolusi sistem yang berlangsung secara perlahan.
Ke dua, jika kekuatan-kekuatan yang mendorong kepada perubahan itu terlalu kuat maka keterputusan dengan keseimbangan akan menyebabkan terbentuknya tatanan baru. Jadi ada keterputusan antara keseimbangan dan perubahan struktur.
Ke tiga, orang-orang tertentu menyatakan adanya perubahan yang bersifat eksogen. Menurut mereka, dalam kondisi normal sebuah perusahaan berada dalam situasi seimbang, sedangkan kemungkinan kemunculan ketidakseimbangan berasal dari lingkungan sekitarnya.
Sedangkan menurut Karl Marx perjuangan kelas menjadi motor dalam sejarah. Karena berasal dari kontradiksi fundamental antara kelas pemilik alat-alat produksi dengan kelas yang hanya memiliki tenaga untuk bekerja, kontradiksi menjadi penyebab utama perubahan sosial, dan awal dari semua revolusi. Konflik antar kelas dengan demikian merupakan ciri-ciri struktural dari masyarakat. Jadi Marx menggambarkan satu-satunya faktor endogen yang sebenarnya dalam perubahan sosial.
Di antara pengaruh-pengaruh kebiasaan dalam perilaku adalah simplikasi gerakan yang membuat perilaku lebih cermat dan berkurangnya rasa lelah. Selain itu, kebiasaan mengurangi keinginan akan mengalihkan perhatian pada peningkatan kesadaran. Dalam kemampuan untuk membentuk kebiasaan memperoleh sifatyang baru sangatlah mungkin. Adanya sifat baru melalui kebiasaan ini tidak hanya disadari oleh individu, tetapi kebiasaan ini merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat.
Pondok Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriah. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (biasa disebut kiai, ajengan, nun atau bendara); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga lebih sering mengandung konotasi sekolah) ; dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, dari bahasa Sanskerta). Istilah pondok sering diartikan secara harfiyah fundukun (bahasa Arab) artinya arama atau hotel. Sedangkan pesantren mempunyai tempat tinggal santri. Kata “pesantren” berasal dari kata dasar santri mendapat awalan pe dan akhiran an digabung berbunyi pesantrian, yang mirip dengan kata pesantren. Sehingga pondok pesantren mengandung arti tempat santri mencari pengetahuan agama dari kiai. Pondok pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan sahamnya dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah banyak melahirkan pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan semestinya di masa yang akan datang. Lulusan pondok pesantren tak pelak lagi, banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Meskipun pondok pesantren umumnya dipandang sebagai lembaga pendidikan indigenous Jawa, tradisi keilmuan pesantren dalam banyak hal memiliki afinitas dengan lembaga-lembaga pendidikan tradisional di kawasan Dunia Islam lainnya. Afinitas atau kesamaan itu – dalam batas tertentu – bukan hanya pada tingkat kelembagaan dan keterkaitannya dengan lingkungan sosialnya, tetapi juga pada watak dan karakter keilmuannya.
Sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertahan di tengah gelombang perubahan. Kalau kita menerima spekulasi bahwa “pesantren” telah ada sebelum masa Islam, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “counter culture” (budaya tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elite Brahmana.
Pondok pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pondok pesantren tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indegenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan meng-Islamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.
Kalau negara Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, di mana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang berorientasi agama.
Pada beberapa pondok pesantren tertentu, santri membangun pondoknya sendiri di atas tanah yang sediakan oleh pihak pondok pesantren tanpa dipungut biaya. Beberapa di antara calon santri sengaja datang ke pondok pesantren untuk mengabdikan diri ke kiai dan pesantren. Beberapa orang tua sengaja mengirimkan anaknya ke pondok pesantren dan menyerahkan kepada kiai untuk diasuh dan dibimbing. Mereka percaya penuh bahwa kiai tidak akan menyesatkannya, bahkan sebaliknya dengan berkah kiai anak tersebut akan menjadi orang baik. Banyak anak nakal atau memiliki tanda-tanda tingkah laku menyimpang, dikirim ke pondaok pesantren dengan harapan sembuh dari kenakalannya.
Salah satu contoh pesantren Tebuireng telah memainkan peranan penting dan dominan dalam pelestarian dan pengembangan tradisi pesantren di abad ke-20 dan telah menjadi sumber penyedia (supplier) yang paling penting untuk kepemimpinan pesantren di seluruh Jawa dan Madura sejak tahun 1910-an. Sejak didirikan, Pesantren Tebuireng telah dikonfrontasikan dengan kemajuan teknologi Barat, dan secara langsung mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir para santrinya.
Pondok pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Mereka memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Masng pondok pesantren tampak memiliki daerah pengaruh sendiri, yaitu komunitas-komunitas dalam masyarakat, sesuai dengan aliran yang dibawanya. Mereka mempunyai daerah-daerah atau komunitas-komunitas pengaruh sendiri-sendiri. Meskipun di antara daerah yang satu dengan yang lain tidak dapat ditarik garis batas yang jelas, tetapi secara sosiologis tampak jelas batas-batas mereka.
Pondok pesantren yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pondok pesantren salaf. Meliputi pondok pesantren Mojoduwur, Mojasari dan Krempyang, yang mana ke tiga pondok pesantren tersbut berada di Kabupaten Nganjuk. Disebut pondok pesantren salaf karena bercirikan prinsip tafaqquh fi ad-din, dengan tetap mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Mengguanakan sistem sorogan dan bandongan dalam bentuk pembelajarannya. Sedangkan Husni Rahim menggunakan istilah pesantren salafiyah dengan memberikan konotasi pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan Islam non-klasikal dengan metode bandongan dan sorogan dalam mengkaji kitab-kitab klasik (kuning) yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama pada abad pertengahan. Sehingga dapat diambil satu pengertian tentang istilah salaf, identik dengan pengertian kata salafiyah oleh Husni Rahim, kata pesantren oleh Karel A. Steenbrink, kata salafi oleh Zamakhsyari Dhofier.
Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa anggota keluarganya. Pondok pesantren menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan kiai, sebab pondok pesantren merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran, tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid (1997) dalam Ali Maschan Musa menyatakan bahwa pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Di dalam kondisi sosial masyarakat di pondok pesantren, kiai merupakan simbol kekuatan (power) keilmuan dan top figur sekaligus merupakan top leader dalam setiap penentuan serta pengambilan setiap keputusan dan kebijakan. Otoritas tersebut sangat melekat pada fungsi dan peran kiai dalam strata sosial di pondok pesantren yang dipimpinnya. Apa yang dilakukan kiai, merupakan sebuah kekuatan sosial pondok pesantren dan akan menjadi uswah hasanah bagi para santri dan seluruh unsur sosial yang ada di pondok pesantren.
Berdasarkan proses komsumsi dapat dilihat bahwa “konsumsi citra” (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting di mana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi kelompok kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self). Rumah dikonsumsi karena “style” , dengan sifat modern atau unik yang menegaskan perbedaannya dengan orang lain. Demikian juga dengan perilaku sosial yang terjadi di dalam sebuah pondok pesantren sangat ditentukan oleh perilaku kiainya. Apa yang dikonsumsi oleh kiai, akan menjadi konsumsi para santri dan seluruh masyarakat di pondok pesantren bahkan oleh masyarakat sekitar dan seluruh masyarakat yang mengenal dan meneladani kiai tersebut.
Konsumsi citra tersebut terjadi juga di pondok pesantren. Rumah para kiai era sekarang sudah mengikuti “style” sebuah bentuk rumah dengan konstruksi model terbaru. Kepemilikan terhadap mobil juga mengindikasikan adanya pengaruh “konsumsi citra” yang berkembang pada era sekarang, Konsumsi citra yang dilakukan para kiai dan keluarganya apakah menunjukkan adanya respon pondok pesantren terhadap perubahan sosial ? Sehingga muncul fenomena baru di pondok pesantren terutama sangat tampak di pondok pesantren salaf, mengingat selama ini tidak peduli terhadap perkembangan masyarakat di sekitarnya.
m. arif am
PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME GUS DUR
( Sebuah Analisis Wacana )
Oleh : Drs. M. ARIF AM, MA. **)


Pendahuluan
Ketika pesta akhir tahun 2009 mulai berdesir samar-samar di telinga muda-mudi , tiba-tiba terhembus dan beredar kabar duka, salah satu putra terbaik bangsa dipanggil Sang Khaliq untuk menghadapNya, beliau adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Ketua Umum PB NU, Presiden RI ke 4. Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya yang menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada hari Rabu 30 Desember 2009, sekitar pukul 18.45 WIB (Jawa Pos, 31-12-2009). 
Pluralisme Gus Dur
Menurut John L. Esposito, KH Abdurrahman Wahid adalah seorang pemikir, penulis dan politisi Islam Indonesia. Beliau merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Juga merupakan seorang kolumnis terkenal masalah budaya, social, dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan social, dan demokrasi (Esposito, 2001:16).
Dalam ilmu social, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleran satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.( Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Walaupun Gus Dur bersikap santai dan sederhana, arus kegiatan di sekelilingnya dan reaksi orang terhadap dirinya ketika mereka menemuinya, jelas sekali menunjukan bahwa beliau adalah seorang yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1990, majalah berita mingguan yang terpandang, Editor, memberikan kepada Gus Dur anugerah Orang Terpopuler Sepanjang Tahun (Man of TheYear). Dalam edisinya tanggal 22 Desember, majalah itu memuat 15 halaman tulisan mengenai Gus Dur. Subjudul di kulit sampulnya berbunyi “Tahun mulai bangunnya Islam di Indonesia”. Judul liputan utama berbunyi: “Suatu mosaic yang bernama Abdurrahman Wahid”. Sedangkan subjudulnya berbunyi: “Gus Dur orang terpopuler tahun 1999, sering bersikap kontroversi dan tidak takut untuk menjadi merdeka” (Barton, 2003:6).    
Dalam hal ini harus diakui bahwa pemikiran Gus Dur jauh melampaui batas wawasan umatnya sendiri, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Gus Dur adalah orang yang paling berjasa dalam mengantarkan NU dalam kondisi seperti sekarang ini (Darwis, 1994:xi).
Ketika Muktamar Situbondo 1984 tinggal beberapa bulan lagi, Gus Dur membuat manuver yang mengherankan banyak orang. Tidak beberapa lama setelah peristiwa Tanjung Priuk, Gus Dur mengundang Jenderal  Benny Moerdani ke pesantren-pesantren. Alasannya biar Jenderal Benny yang waktu itu menjabat Pangab, mengenal pesantren sehingga tidak mencurigai orang-orang pesantren. Setelah proses yang diupayakan Gus Dur ini, tercapai suatu iklim yang harmonis di kalangan tentara terhadap pesantren. Kecurigaan-kecurigaan yang sebelumnya kental, menjadi cair (Bruinessen, 2010:71). 
  Di sini, Gus Dur membangun citra dirinya sebagai pendukung kuat idealisme Negara Pancasila. Bagi Gus Dur, toleransi beragama yang secara implicit terkandung di dalam Pancasila merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini.
Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah kesepakatan politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah Negara kesatuan, namun ia masih melihat adanya sejumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagaimana yang diharapkan (Ramage, 2010:106).
Pada tahun 1945, Soekarno meminta dan menerima nasehat para pimpinan NU tentang bagaimana seharusnya Pancasila disusun sebagai dasar Negara. Lagi pula, menurut Gus Dur, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang sehat dan baik di dalam kerangka kenegaraaan nasional (Ramage, 2010:107).            
Martin van Bruinessen, seorang peneliti senior tentang NU dari Belanda mengungkapkan secara jujur tentang sosok Gus Dur. Dia menyatakan  bahwa dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling menarik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisonalis, bukan modernis. Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, dan Masdar Farid Mas’udi (Bruinessen, 2009:9).
Bagi umat Konghucu, tokoh NU ini ibarat bapak. Jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur menunjukkan komitmen untuk membela kaum minoritas Tionghoa. Pun ketika menjadi RI-1, almarhum dikenal mengegolkan Koghucu menjadi agama resmi di Indonesia.
Ketika umat muslim di luar Indonesia terus  bergejolak , Gus Dur mampu mendinginkan suasana agar tetep tenteram. Oleh karena itu muslim Indonesia  dikenal  sebagai Islam yang moderat. Yang mampu melindungi kaum minoritas.Umat Konghucu akan memasukkan hari wafat Gus Dur ke dalam agenda tahunan Kelenteng Boen Bio. Dengan begitu, generasi penerus bisa tetap mengenang perjuangan Gus Dur (Jawa Pos, Senin 4 Januari 2010).
Hingga hari ke tujuh meninggalnya Gus Dur, ribuan peziarah masih mengunjungi makamnya di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Kecamatan Diwek Jombang. Puluhan Biksu dari Konferensi Agung Sangha Indoensia (KASI) 4 Januari 2010 berziarah ke makam mantan presiden ke empat RI tersebut.  Menurut mereka, Gus Dur merupakan perwujudan Bodhissatva, makluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta (Jawa Pos, Selasa 5 Januari 2010). 
Sosok putra KH Wachid Hasyim itu bisa menerima resiko dengan merangkul orang-orang yang menderita. Seharusnya cerita tentang Gus Dur diceritakan turun temurun lewat sekolah keluarga dan masyarakat. Gus Dur harus menjadi bagian dari kita. Jadi, secara berkelanjutan kita harus melanjutkan cita-citanya.
Gus Dur adalah kiai besar. Tapi, kebesaran tersebut tidak lantas membuat beliau jauh dari rakyat. Sikap yang beliau kembangkan justru merakyat. Semua hidupnya dianugerahkan untuk rakyat, tuturnya. Hal itulah yang membuat Gus Dur menjadi manusia luar biasa (Jawa Pos, Selasa 5 Januari 2010).
Isu Pluralisme Terancam. Prospek keberagaman (pluralisme) di tanah air terancam tidak berkembang pasca wafatnya mantan presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Mantan ketua Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla menegaskan, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pluralisme, leberalisme, dan neoliberalisme yang dikeluarkan pada 2005 menjadi penyebab mundurnya gerakan keberagaman (pluralisme). Fatwa itu, kata Ulil, mengangap pluralisme membahayakan akidah atau keimanan. Ada semacam sinisme terhadap orang-orang yang mengampanyekan ide-ide pluralisme, kata ulil dalam dialog Prospek Demokrasi dan Kebebasan di Jakarta, Jum’at 22 Januari  2010 (Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2010).
Pluralisme dan kerukunan antar umat saat ini dianggap sebagai ide maju.Tokoh-tokoh moderen pluralisme seperti Gus Dur dan Nur Cholish Madjid, menurut Ulil, harus mendapatkan legitimasi di masyarakat. Di tengah makna peyoratif pluralisme, kata Ulil, media justru memperparah dengan memproduksi kata-kata yang menjerumuskan. Dalam sejumlah kasus Ahmadiyah misalnya, justru media menggunakan kata aliran sesat seperti yang digunakan MUI.Hal serupa dikemukakan Musdah Mulia, dalam penangkapan anggota Komunitas Lia Eden, Misalnya. Media massa sering menulis itu dengan alaian sesat. Paling halus ditulis aliran yang dianggap sesat. Padahal, bisa ditulis secara netral, ujarnya (Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2010).

Multikulturalisme Gus Dur
Perbedaan Mesti Ditoleransi Rasional. Perbedaan dalam segala aspek kehidupan mesti ditoleransi secara rasional dan konstruktif untuk mencapai persatuan dalam keberagaman yang hakiki. Demi tujuan tersebut, dialog dan silaturrahmi yang lebih intensif perlu dilakukan untuk menjaga persatuan dan perdamaian. Demikian sebagian isi dialog yang terangkum dalam seminar internasional  bertema Unity in Diversity, yang diselenggarakan pada Jum’at 22 Januari 2010 di Aula Syahida Inn, Kompleks Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Ciputat Propinsi Banten.
Pembicara yang hadir adalah Chairman Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi serta tiga ulama, yaitu Syekh Ahmed Tijani ben Omar (Ghana), Syekh Faraz Rabbani (Kanada), dan Syekh Sa’ad Al Attas (Inggris).  Zuhairi mengatakan perbedaan ialah keniscayaan  (sunnatullah) dalam agama Islam yang mesti dihadapi secara bijak.
Menurut Syekh Ahmed Tijani, yang kini juga harus dimulai oleh setiap Muslim adalah  menyemai bibit-bibit perdamaian dari dalam diri sendiri. Kata Ahmed, perang paling besar justru perang melawan hawa nafsu sendiri. Ahmed menambahkan, kehadirannya di Indonesia juga untuk mengabarkan kepada komunitas internasional soal peran (Kompas, Senin 25 Januari 2010).
Bapak Demokrasi Papua untuk Gus Dur. Satu persatu penghargaan masih terus diterima almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tanggal 25 Januari 2010 presiden ke-4 RI tersebut ditahbiskan rakyat Papua sebagai bapak demokrasi Papua. Sebutan bapak demokrasi Papua tersebut dideklarasikan dalam acara : Gus Dur, 10 Tahun Kembali Nama Papua (1 Januari 2000-1 Januari 2010). Acara tersebut diselenggarakan di GOR Cendrawasih, Jayapura.
Don Flassy, salah seorang tokoh Papua yang memperoleh kesempatan  memimpin renungan dalam acara itu, menegaskan bahwa jasa Gus Dur bagi masyarakat Papua cukup besar. Ketika menjabat presiden, Gus Dur lah yang mengembalikan nama Papua sebagai pengganti Irian Jaya. Flassy bahkan mengibaratkan Gus Dur seperti Douwes Dekker-nya Papua. Jika Douwes Dekker berjuang untuk kesetaraan antara rakyat Indonesia dan Belanda, Gus Dur berjuang agar masyarakat Papua setara dengan masyarakat lain di propinsi lain di Indonesia, ujarnya (Jawa Pos, Selasa 26 Januari 2010).
Semasa hidupnya, dia memosisikan diri sebagai sosok humanis yang selalu peduli terhadap masalah kemanusiaan di belahan dunia manapun. Beliaulah yang menjadi jembatan untuk hubungan antara Islam -Yahudi  dan Kristen tanpa ragu sedikitpun, ujarnya.  Khusus  tentang Papua, kembalinya nama Papua termasuk salah satu di antara tiga kebijakan Gus Dur. Saat menjadi presiden, Gus Dur pula yang mengizinkan bendera Papua, Bintang Fajar, berada di samping bendera Merah Putih. Acara di GOR Cendrawasih (25/1/2010) dihadiri oleh adik kandung Gus Dur, Lili Chodijah Wahid yang menjadi anggota Komisi I DPR RI. Bersama Lili, hadir Inayah Wahid, putri kandung Gus Dur (Jawa Pos, Selasa 26 Januari 2010).
Tokoh Lintas Negara Doakan Gus Dur. Makam KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kompleks Pesantren Tebuireng Jombang, tak pernah sepi peziarah. Hingga sebulan pasca meninggalnya  presiden ke-4 RI tersebut, masyarakat masih berdatangan untuk berziarah. Termasuk kalangan muslim luar negeri.  Selasa 26 Januari 2010, empat tokoh yang tergabung dalam organisasi Islam Internasional  Simply, Islam dan Arus Damai serta Radical Middle Way (London) mengunjungi makan Gus Dur. Mereka adalah Abdurrahman (Inggris), Mohamed Nassir (Singapura), Syekh Faraz Robbani (Kanada), dan Syekh Saad Al Attas (Afrika). Mereka datang bersama ketua Moderate  Moslem Society Zuhairi Misrawi dan Hamim Rosyidi, ketua II Yayasan Darul Hikmah Mojokerto.
Direktur Simply Islam Mohamed Nassir menyatakan, sangat mengagumi Gus Dur. Ketokohannya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, ucapnya setelah berziarah. Menurut dia, Gus Dur mampu membawa Islam Indonesia ke kancah internasional. Sekaligus mengangkat citra Islam yang damai,  toleran, dan humanis. Gagasan yang diusung sama dengan yang dicita-citakan, terangnya. Yakni, menunjukkan wajah Islam yang penuh cinta kasih dan menjadi rahmat bagi seluruh alam Jawa Pos,Rabu 27 Januari 2010).
Basis Pemikiran. Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memilliki keunikan  yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur bebrbeda dengan lmarhum kakeknya, KH Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya KH Wahid Hasyim. 
Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di kawasan Menteng. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya.  Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).  Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur  berenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial.
Di antara pemikiran Gus Dur  yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Keduanya bisa jadi satu kesatuan yang berkait. Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa Negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun Gus Dur merupakan salah satu  actor kunci bagi lahirnya keputusan itu.
Dalam pandangan NU-dan Gus Dur- negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam wadah kebersamaan. Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Oleh karena  itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas. Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas, karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas (Kacung Marijan, dalam Kompas, Rabu 6 Januari 2010). 
Sosok Gus Dur telah memungkinkan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komunitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktekkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim (Kacung Marijan, dalam Kompas, Rabu 6 Januari 2010).Dalam penanaman nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme, sosok Gus Dur tidak hanya menggunakan media pidato atau ceramah saja, tetapi lebih dari itu dengan pendekatan uswah khasanah, sehingga tidak hanya teoritis tetapi secara praktis dan aplikatif ( Arif AM, dalam Irwan Abdullah, et.al (Ed), 2008:47).
**) Penulis adalah Dosen STAIN Kediri DPK di STAIM Nglawak Kertosono, Kandidat Doktor program  Pascasarjana S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Daftar Pustaka
Arif AM, M. 2008. Pesantren Sebagai Pusat Deseminasi  Jama’ah Tabligh, Studi Kasus di Pesantren Al Fattah Temboro Magetan Jawa Timur, dalam Irwan Abdullah, et.al (Ed). Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM  bekerja sama Pustaka Pelajar.
Barton, Greg. 2003. The Outhorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID. Yogyakarta:LKiS.
Bruinessen, Martin van. 2010. Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pasca Khittah 26: Pergulatan NU Dekade 1990-an, dalam Ellyasa K.H. Darwis (Ed). Gus Dur,  NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta:LKiS.
___________________. 2009. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta:LKiS.
Darwis, Ellyasa K.H.(Ed). 1994. Gus Dur,  NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta:LKiS.
Esposito, John L. 1995. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World. Oxford University Press, Inc.
Esposito, John L. 2001. ENSIKLOPEDI ISLAM-OXFORD DUNIA ISLAM MODERN. Bandung : Mizan.
Jawa Pos, 31-12-2009
Frans Magnis Suseno, Rohaniawan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,Gus Dur Telah Pergi dalam Kompas, Senin 4 Januari 2010
Jawa Pos, Selasa 5 Januari 2010
Marijan Kacung. Gus Dur, NU, dan Indonesia dalam Kompas, Rabu 6 Januari 2010
Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2010
Kompas, Senin 25 Januari 2010
Jawa Pos, Selasa 26 Januari 2010
Jawa Pos,Rabu 27 Januari 2010
Jawa Pos, Minggu 21 Pebruari 2010 dalam
Ramage, Douglas E. 2010. Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Pasca Asas Tunggal dalam Ellyasa K.H. Darwis (Ed). Gus Dur,  NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta:LKiS.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.